Jumat, 26 November 2010

PROSES PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING) OLEH HAKIM MENGENAI PERUBAHAN STATUS JENIS KELAMIN DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dinamika hukum senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur, namun perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat menjadi masalah berkaitan dengan hal yang tidak atau belum di atur dalam suatu peraturan perundang-undangan,karena tidak mungkin suatu peraturan perundang-undangan dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas, sehingga hampir dapat dipastikan, hukum tertulis selalu tertinggal dibanding dengan dinamika masyarakat. Penegakan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia seringkali menghadapi kendala berkaitan dengan perkembangan masyarakat. Berbagai kasus yang telah terjadi menggambarkan sulitnya penegak hukum atau aparat hukum mencari cara agar hukum dapat sejalan dengan norma masyarakat yang ada.
Perkembangan masyarakat lebih cepat dari perkembangan aturan perundang-undangan, sehingga perkembangan dalam masyarakat tersebut menjadi titik tolak dari keberadaan suatu peraturan. Dalam kehidupan bermasyarakat memang diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut.[1]
Salah satu karakteristik utama dari civil law ialah penggunaan aturan-aturan yang tertulis  dan terbukukan (terkodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Untuk menerjemahkan aturan-aturan hukum tersebut, kepada peristiwa-peristiwa konkret, maka difungsikanlah seorang hakim. Seorang hakim memiliki kedudukan pasif di dalam menerapkan aturan hukumtersebut, dia akan menerjemahkan suatu aturan hukum apabila telah terjadi sengketa diantara individu satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat yang kemudian hasilterjemahan aturan hukum tersebut ditetapkan di dalam suatu putusan pengadilan yang mengikat pada pihak-pihak yang bersengketa.[2]
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).[3] berdasarkan undang-undang pokok kekusaan kehakiman disebutkan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,mengadili,dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya[4].
Sudah barang tentu hakim harus mempelajari berbagai cara menemukan hukum yang memang sudah disediakan oleh ilmu hukum,karena merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap hakim dalam mengemban tugas luhurnya itu.[5] Bilamana undang-undang tidak menyebut suatu perkara, maka hakim harus bertindak atas inisiatifnya sendiri. Hakim harus bertindak sebagai pembentuk hukum dalam hal undang-undang diam saja.[6] Penegakkan dan pelaksanaan hukum ini sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum. Karena itu usaha penemuan hukum ini merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan hakim dalam memutuskan perkara
Kasus yang sempat terkenal dalam praktek pengadilan di Indonesia dalam rangka hakim menemukan hukum baru berupa asas-asas hukum, yaitu keputusan pengadilan Jakarta Selatan dan Barat pada tahun 1973 yang memberikan putusan atau berupa ketetapan atas perubahan jenis kelamin seorang pria menjadi wanita. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan kasus Vivian Rubyanti.[7]  Di pihak lain, pada tahun 2009, Pengadilan Negeri  Batang mengabulkan permohonan Agus Widiyanto menjadi nadia, Humas Pengadilan Negeri Batang menegaskan bahwa Pengadilan Negeri Batang berani mengabulkan permohonan Nadia berdasarkan landasan hukum. Meski tidak dikenal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),[8] Jauh sebelumnya, pada awal tahun 1980, Dedi Yuliardi Ashadi menimbulkan kehebohan karena keinginannya berganti kelamin. Pengadilan Negeri Surabaya saat itu mengabulkan keinginan Dedi yang kemudian berganti nama menjadi Dorce Ashadi atau kini lebih dikenal sebagai Dorce Gamalama.  Selain di Indonesia, proses ganti kelamin yang mendapat pengakuan secara legal juga terdapat di negara lain. Dalam hal statistik, Thailand menempati urutan pertama dalam hal jumlah permintaan ganti kelamin setiap tahunnya disusul Iran[9]
Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya.[10] Untuk menyelesaikan persoalan ini, maka diberikanlah kewenangan kepada hakim untuk mampu mengembangkan hukum atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding),
 menjatuhkan putusan yang dapat memuaskan kedua belah pihak tidak mudah diwujudkan karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda, namun yang harus selalu disadari oleh seorang hakim adalah senantiasa berupaya menjatuhkan putusan seadil-adil mungkin berdasarkan rasa keadilan masyarakat. Hakim yang bijaksana adalah hakim yang menunjukkan sikap, senantiasa mendengar, melihat, dan berusaha mendatangkan kebajikan, serta mampu melakukan sesuatu yang konkrit dan bermanfaat bagi masyarakat agar putusan yang dijatuhkan dirasakan sebagai  sebuah keadilan yang membawa rahmat.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah peranan Hakim dalam penemuan hukum dalam kasus pergantian status jenis kelamin.?
2.      Landasan Hukum apakah yang digunakan Hakim dalam memutuskan perkara status pergantian jenis kelamin.?

C.      Tujuan Penulisan 
Tujuan penulisan ini adalah
1.      1. Untuk menganalisis bagaimana peranan hakim dalam melakukan penemuan hukum dalam perkara status  pergantian kelamin di indonesia.
2.      2. Untuk mengetahui landasan hukum hakim dalam memutuskan perkara pergantian status jenis kelamin

D.    Kegunaan Penelitian
Penelitian  ini diharapkan dapat memberikan kegunaan secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis penelitian  ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan. Secara praktis dapat memberikan masukan bagi pihak yang terkait untuk mengambil kebijakan dalam rangka memberikan keadilan, manfaat, dan kepastian hukum serta perlindungan hukum yang efektif terhadap pemohon yang mengajukan permohonan pergantian status kelamin.

E.  Kerangka Pemikiran
Hakim sebagai sebuah jabatan yang memiliki fungsi yudikatif, pada dasarnya memiliki dua tindakan atau peran. Pertama, untuk membuktikan keberadaan suatu fakta yang dikualifikasikan sebagai delik perdata atau pidana oleh suatu norma umum yang harus diterapkan kepada kasus tertentu. Kedua, hakim menjatuhkan suatu sanksi perdata atau pidana yang konkret yang ditetapkan secara umum dalam norma yang harus diterapkan.[11]
 Apabila suatu perkara dibawa kepengadilan dan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak ada ketentuan yang dapat diterapkan sekalipun ditafsirkan menurut bahasa sejarah, sistematis dan sosiologis sedang dilain pihak hukum kebiasan atau hukum adat pun tidak ada peraturan yang dapat membawa hakim kepada penyelesaian perkara itu, berarti persoalan ini bersangkutan dengan kekosongan hukum dalam sistem formil dari hukum[12]
Agar dapat mencapai kehendak dari pembuat undang-undang serta dapat menjalankan undang-undang sesuai kenyataan sosial, hakim menggunakan beberapa cara penafsiran[13], yaitu :
1.        Interprestasi Gramatikal (penafiran undang-undang menurut arti perkataan atau istilah)
Hukum memerlukan bahasa. Hukum tak mungkin ada tanpa bahasa. Oleh karena itu bahasa merupakan sarana penting bagi hukum, peraturan perundang-undangan dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis, putusan pengadilan disusun dalam bahasa yang logis sistematis, untuk mengadakan perjanjian diperlukan bahasa. Untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang maka ketentuan undang-undang itu ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari[14]. Maka dari itu pembuat undang-undang yang ingin menyatakan kehendaknya secara jelas, haruslah memilih kata-kata  jelas, dan tidak dapat ditafsirkan secara berlainan. Maka digunakannya kamus bahasa atau dimintainya keterangan ahli bahasa.[15]
2.        Menafsirkan undang-undang menurut sejarah atau penafsiran historis.[16]
Setiap Ketentuan perundang-undangan mempunyai sejarahnya. Dari sejarah peraturan perundang-undangan hakim dapat mengetahui maksud pembuatnya. Terdapat dua macam penafsiran sejarah, yaitu penafsiran menurut sejarah dan sejarah penetapan sesuatu ketentuan perundang-undangan
3.        Penafsiran undang-undang menurut sistem yang ada di dalam hukum atau kebiasaan disebut dengan penafsiran sistematik.[17]
Perundang-undangan suatu Negara merupakan kesatuan, artinya tidak sebuah pun dari peraturan tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah ia berdiri sendiri. Pada penafsiran peraturan perudang-undangan selalu harus di ingat hubungannya dengan peraturan perundang-undangan lainya. Penafsiran sistematis tersebut dapat menyebabkan, kata-kata dalam undang-undang diberi pengertian yang lebih luas atau yang lebih sempit dari pada pengertiannya dalam kaidah bahasa yang biasa. Hal yang pertama disebut penafsiran meluaskan dan yang kedua disebut penafsiran menyempitkan 
4.        Menafsirkan undang-undang menurut cara tertentu sehingga menurut cara tertentu sehingga undang-undang itu dapat dijalankan sesuai dengan keadaan sekarang yang ada didalam masyarakat, atau biasa disebut dengan penafsiran sosiologis, penafsiran teleologis.[18]
Setiap penafsiran undang-undang yang dimulai dengan penafsiran menurut bahasa harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis. Kalau tidak demikian, maka tidak terjamin dibuatnya suatu keputusan hakim yang sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan yang benar-benar dimasyarakat, dalam hal yang demikian hakim harus mencarinya agar dapat mengetahui tujuan sosial itu maka hakim melakukan penafsiran.apabila hakim mencarinya, maka masuklah ia kedalam lapangan pelajaran sosial (studieveld van de sociologie). Sebenarnya, penafsiran sosiologis itu suatu alat untuk menyelesaikan sebanyak-banyaknya perbedaan antara positivitas hukum dan realitas hukum
5.        Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi.[19]
Kadang-kadang pembuat undang-undang sendiri membuat tafsiran tentang arti beberapa kata-kata yang digunakan didalamnya peraturan yang dibuatnya itu. Tafsiran itu disebut tafsiran resmi atau tafsiran otentik. Maka dari itu tafsiran otentik hanya dapat dibuat oleh pembuat undang-undang oleh pembuat undang-undang dan tidak dapat dibuat oleh hakim, karena pada azasnya (prinsipiil) tafsiran yang dibuat hakim hanya berlaku bagi, yaitu mengikat, kedua belah pihak perkara saja.
6.        Penafsiran Interdisipliner.[20]
Penafsiran jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Disini digunakan logika lebih dari satu cabang ilmu hukum. Misalnya adanya keterkaitan asas-asas hukum dari satu cabang ilmu hukum, misalnya hukum perdata dengan asas-asas hukum public
7.        Penafsiran Multidisipliner.[21]
Berbeda dengan penafsiran interdisipliner yang masih berbeda dalam rumpun disiplin ilmu yang bersangkuta, dalam penafsiran multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lainya di luar ilmu hukum. Dengan lain perkataan, disini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu
Berkaitan dengan pergantian status jenis kelamin seseorang, Purwawidyana dalam salah satu tulisannya memaparkan tentang hubungan fenomena transseksual dengan tindakan penyesuaian kelamin, yaitu
dimana seseorang secara fisik sehat dan sempurna sebagai pria atau wanita, akan tetapi ia secara psikis mempunyai kecenderungan yang amat kuat ingin mengekspresikan diri serta menampilkan diri sebagai lawan jenisnya, sehingga ia menginginkan pergantian kelamin atas dirinya.[22]

Sejalan dengan pendapat diatas, Djohansjah Marzuki mengemukakan bahwa keinginan penderita untuk menjalani operasi kelamin lebih didominasi untuk kesesuaian kondisi fisik dan jiwa, sehingga dapat menempatkan diri dan diterima  masyarakat sebagai orang yang utuh.[23] Operasi penyesuaian sebagaimana disebutkan diatas, dilihat dari segi teknis pelaksanaannya termaksud dalam teknologi transplantasi. Oleh karena itu penanganannya memerlukan pengaturan hukum yang ketat dengan mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya dan agama yang hidup dalam masyarakat[24]. Perubahan status seseorang yang dikenal dengan istilah penggantian kelamin, ditinjau dari segi hukumnya merupakan sesuatu yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan didalam masyarakat karena
a.       Peristiwa perubahan status ini merupakan persoalan baru dalam masyarakat
b.      Hal ini belum diatur oleh undang-undang, karena pembuat undang-undang waktu itu tidak atau belum memperkirakan terjadinya hal-hal seperti itu
c.       Dalam hukum diperlukan suatu penegasan status seorang wanita atau laki-laki, karena penentuan status demikian itu diperlukan baik dalam hukum perdata misalnya apabila seseorang akan menikah, dalam hal warisan, dalam perjanjian kerja dan lain-lain maupun dalam hukum pidana
d.      Undang-undang hanya mengenal istilah laki-laki atau perempuan.[25]
Dalam mengisi kekosongan hukum tentang perubahan status jenis kelamin itu hakim juga harus melihat pandangan-pandangan dari sisi sosial, agama, hukum, dan medis (Kedokteran). Hakim harus mengambil pilihan dari berbagai metode penafsiran yang hasilnya dapat berbeda. Hakim mempunyai kebebasan dalam penafsiran, yang tidak boleh tidak harus dilakukan karena hakim tidak dapat menolak untuk mengadili dan memutuskan perkara.
Pada konteks hukum positif tampaknya kewenangan hakim menemukan hukum sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 14 ayat (1) undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, juga harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 28 ayat (1)  undang-undang nomor 4 tahun 2004, yang berbunyi sebagai berikut :
(1). Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan dalam masyarakat.
(2)  Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifatyang baik dan jahat dari terdakwa.
Dari kedua ayat dalam pasal tersebut, dengan jelas dinyatakan hakim menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat dan memperhatikan hal-hal yang baik dan jahat dari terdakwa sebelum memutus suatu perkara. Hal ini menunjukan bahwa, Indonesia memang menganut ajaran penemuan hukum bebas (vrije rechstvinding), namun menyangkut hukum bebas tersebut hakim masih terikat oleh peraturan perundang-undangan.
Sehingga hukum bebas di posisikan sebagai tambahan dari aturan perundang-undangan dia tidak dapat menyimpang dari aturan perundang-undangan tersebut, akan tetapi hakim dapat mengkontekskan aturan hukum yang ada sesuai dengan rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat, Hukum bebas dalam pengertian rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat sangat identik dengan hukum agama dan adat yang ada di dalam masyarakat. Namun tidak sebatas itu, tafsir rasa keadilan dan
nilai-nilali masyarakat juga dapat ditafafsirkan di dalam dinamika sosial kemasyakatan. Dimana aspek tuntutan dan tekanan masyarakat, mengenai mana yang adil dan tidak adil menjadi aspek yang tidak dapat diabaikan dalam memutus suatu perkara[26].
Dalam hal ini tidak ada sistem yang logis tertutup. Apabila hakim harus mengambil pilihan dari berbagai kemungkinan, yang ditentukan oleh penilaiannya, maka ia melengkapi atau mengisi peraturan-peraturan hukumnya dalam hubungannya satu sama lain, setiap penafsiran, demikian pula setiap putusan menambahkan sesuatu, berisi unsur penciptaan. Akhirnya hakim hanya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan pertimbangan metode manakah yang paling menyakinkannya dan yang hasilnya paling memuaskan. Peradilan dalam hal ini menjadi pencitaan hukum, penemuan hukum[27]




[1]Peranan hakim http  /www.geogle.co.id/#q=peranan+hakim+dalam+melakukan+penemuan+hukum  
[2]penemuan hukum  http://www.scribd.com/doc/23229941/Penemuan-Hukum-Di-Indonesia
[3] Muliadi Nur, Analisis Terhadap Teknik/Metode Penemuan Hukum oleh Hakim di Kota Manado alam Proses Pengambilan Keputusan, 2 Juni 2008, dalam www.WordPress.com
[4] Pasal 16 ayat 1. Undang-undang pokok  Kekuasaan Kehakimana No 4 Tahun 2004.
[5] Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Penafsiran Dan Kontruksi Hukum. Alumni, Bandung, hlm 1
[6] E Utrecht. Pe ngantar Dalam Hukum Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta.  hlm  203
[7] Idem. hlm 2
[8]Nusantara. Kasus agus menjadi nadia  bukan yang pertama  http://news.okezone.com/read/2009/12/23/340/287498/kasus-agus-jadi-nadia-bukan-yang-pertama
[9] ibid
[11] (tanpa nama). Penemuan  Hukum Di Indonesia. file:///D:/PENEMUAN%20HUKUM/Penemuan-Hukum-Di-Indonesia.htm /> [09/10/2008]. hlm 2
[12]  Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Op. Cit. hlm 12
[13] Idem. Hlm 9
[14] Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta. Hlm 57
[15] E Utrecht.Op.Cit. hlm 208
[16] Van Apeldoorn.Pengantar Ilmu Hukum, dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra Penafsiran dan Kontruksi Hukum. Op. Cit. Hlm 10
[17] Ibid.
[18] E Utrecht.Op.Cit. hlm 216-217
[19] Ibid
[20] Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Op. Cit. hlm 12
[21] Ibid
[22] Ro’fah Setyowati (et,al). Perubahan Status Jenis Kelamin Terhadap Penderita Transgender (transseksual). Laporan Akhir. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Hlm 2  
[23] Djohansjah Marzuki. Ini Operasi Ubah Kelamin. Panasea . (01/1990) , hlm  93
[24] Ro’fah Setyowati (et,al).Op. Cit. hlm 3
[25] Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Op. Cit. hlm 14
[26] (tanpa nama). Op Cit. hlm 6-7
[27] Sudikno Mertokusumo.Op.Cit. hlm 86
[28] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitia Hukum Normatif, Rajawali Pres, Jakarta, hlm 12 lihat pula Sunaryo Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad ke 20, Alumni, bandung. Hlm 139-140


DAFTAR PUSTAKA

E. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta. Sinar Harapan. 1983
Soerjono Soekanto , Penelitia Hukum Normatif,  Jakarta. Rajawali Pres, 1994
Sudikno Mertukusumo. Penemuan Hukum  Sebuah Pengantar. Yogyakarta. Liberty Yogyakarta. 2007
Sunaryo Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad ke 20. Bandung. Alumni, 1994
Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Penafsiran Dan Kontruksi Hukum. Bandung. Alumni. 2008
Van Apeldoorn. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Pradnya Paramita.2004

Jurnal Hukum
Muliadi Nur, Analisis Terhadap Teknik/Metode Penemuan Hukum oleh Hakim di Kota Manado alam Proses Pengambilan Keputusan, 2 Juni 2008, dalam www.WordPress.com
Ro’fah Setyowati (et,al). Perubahan Status Jenis Kelamin Terhadap Penderita Transgender (transseksual). Laporan Akhir. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional
Djohansjah Marzuki. Ini Operasi Ubah Kelamin. Panasea
Situs Internet
(Peranan hakim ). Penemuan  Hukum Di Indonesia. file:///D:/PENEMUAN%20HUKUM/Penemuan-Hukum-Di-Indonesia.htm /
Undang-Undang
Undang-undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman






1 komentar:

  1. Sya Divo Putra Utama, mahasiswa Magister Kenotariatan UNPAD,

    Apakah anda memiliki putusan pengadilan Surabaya yang mengesahkan Permohonan Dedi yang kemudian berganti nama menjadi Dorce ??, jika diperbolehkan, saya ingin mengopy putusan tersebut, jika boleh, tolong kirim ke email saya divograph@yahoo.com

    Terima Kasih.

    BalasHapus