Jumat, 26 November 2010

HAK LINTAS KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING


1.    Lintas Damai
Pasal 18 konvensi hukum laut menyebutkan lintas berarti navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan. Melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah ditempat berlabuh laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman atau lintas terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Namun demikian, lintas mencakup berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majeure atau mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan.
Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan Negara pantai. Lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau keamanan Negara pantai, apabila kapal tersebut dilaut teritorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut :
(a)    Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
(b)   Setiap pelatihan atau praktek dengan senjata macam apapun
(c)    Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai
(d)   Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan Negara pantai
(e)    Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal
(f)    Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer
(g)   Bongkar atau muat komiditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal, imigrasi atau saniter Negara pantai
(h)   Setiap perbuataaannn pencemaran dengan sengaja dan parah yang bertentangan dengan ketentuan konvensi ini
(i)     Setiap kegiatan perikanan
(j)     Kegiatan riset atau survey
(k)   Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya Negara pantai[1]
Hak lintas damai bagi kapal-kapal asing melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional secara umum diatur dalam pasal 45, yang menetapkan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hak lintas damai di laut territorial (seksi 3, bagian II) juga berlaku pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Menurut ketentuan pasal 45 selanjutnya, hak lintas damai ini hanya dapat diterapkan pada :
(1)   Selat yang dikecualikan dari ketentuan Pasal 37, yaitu selat yang terletak antara suatu pulau dan daratan utama Negara yang berbatasan dengan selat, yang apabila pada sisi kearah laut pulau itu terdapat suatu rute melalui laut lepas atau suatu zona ekonomi eksklusif yang sama fungsinya bertalian dengan sifat-sifat navigasi dan hidrografis (untuk selanjutnya akan disebut sebagai selat dengan kategori Pasal 38 ayat 1)
(2)   Selat-selat yang terletak antara bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan laut territorial suatu Negara asing (untuk selanjutnya disebut dengan kategori Pasal 45 ayat 1 (b)[2]
              Ketentuan diatas menetapkan juga bahwa hak lintas damai dapat diterapkan pada selat-selat dimana lintas transit tidak berlaku. Ketentuan-ketentaun tentang hak lintas damai dalam konvensi tentang hak lintas damai dalam konvensi hukum laut 1982 tetap mempertahankan bentuk yang sama seperti dalam konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958, dengan membedakan pengaturan bagi kapal-kapal asing kedalam tiga kategori :
(1)   Semua jenis kapal (17-26)
(2)   Kapal-kapal dagang dan kapal-kapal pemerintahan yang dioperasikan untuk tujuan komersial (pasal 27-28)
(3)   Kapal-kapal perang dan kapal-kapal pemerintahan lainya yang dioperasikan untuk tujuan non komersial (29-32)[3]
Pada garis besarnya kewajiban kapal pada waktu melakukan lintasan sudah tercakup dalam pengertian lintas damai yang diberikan oleh pasal 19 ayat 1, yang kemudian secara terinci digambarkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang terlarang, seperti tercantum pada ayat 2-nya. Disamping itu setiap kapal yang sedang melakukan lintasan wajiba untuk mematuhi peraturan perundang-undangan Negara pantai yang ditetapkan untuk melaksanakan hak lintas damai tersebut. Peraturan perundang-undangan tersebut meliputi antara lain pengaturan tentang keselamatan pelayaran, pencemaran, alur-alur laut dan skema pemisah lalu-lintas[4]
Meskipun kapal-kapal perang mempunyai imunitas yang dijamin oleh konvensi ini, namun tidak lepas dari kewajiban untuk mematuhi peraturan perundang-undangan Negara pantai tentang pelaksanaan hak lintas damai. Meskipun telah diberi peringatan terlebih dahulu, apabila terbukti bahwa kapal perang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, Negara pantai mempunyai wewenang untuk meminta kapal tersebut meninggalkan laut teritorialnya (yang dalam hal ini selat). Selain itu, Negara bendera dari kapal perang atau kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan yang non-komersial, bertanggung jawab atas segala kerugian atau kerusakan yang diderita oleh Negara pantai, yang diakibatkan oleh tidak dipatuhinya peraturan perundang-undangan tersebut, ketentuan-ketentuan konvensi itu sendiri, maupun ketentuan-ketentuan hukum internasiona lainya[5]
Pasal 21 memberikan wewenang kepada Negara pantai untuk dapat membuat peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainya yang bertalian dengan lintas damai melalui laut territorial, mengenai semua atau setiap hal berikut:
(a)    Keselamatan navigasi dan peraturan lalu lintas maritime
(b)   Pelindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas atau instalasi lainya
(c)    Perlindungan kabel dan pipa laut
(d)   Konservasi kekayaan hayati laut
(e)    Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan Negara pantai
(f)    Pelestarian lingkungan Negara pantai dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemarannya
(g)   Penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi
(h)   Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal, imigrasi atau saniter Negara pantai.
Peraturan perundangan-undangan demikian tidak berlaku bagi disain, konstruksi, pengawakan atau peralatan kapal asing, kecuali apabila peraturan perundang-undangan tersebut melaksanakan peraturan atau standar internasional yang diterima secara umum. Negara pantai harus mengumumkan semua peraturan perundang-undangan tersebut sebagaimana mestinya. Kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai melalui laut territorial harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan demikian dan semua peraturan internasional bertalian dengan pencegahan tubrukan di laut yang diterima secara umum.
Negara pantai dimana perlu dengan memperhatikan keselamatan navigasi, dapat mewajibkan kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorialnya  untuk mempergunakan alur laut dan skema pemisah lalu lintas sebagaimana yang dapat ditetapkan dan yang harus diikuti untuk pengaturan lintas kapal. Khususnya, kapal tanki, kapal bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau barang atau bahan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun dapat diharuskan untuk membatasi lintasnya pada alur laut demikian[6].
Penetapan alur laut dan penentuan skema pemisah lalu lintas menurut pasal ini, Negara pantai harus memperhatikan:
(a)    Rekomendasi organisasi internasional yang kompoten
(b)   Setiap alur yang biasanya digunakan untuk navigasi internasional
(c)    Sifat-sifat khusus kapal dan alur tertentu dan
(d)   Kepadatan lalu lintas[7]
Kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau bahan lainya yang karena sifatnya berbahaya dan beracun, apabila melaksanakan hak lintas damai melalui laut territorial, harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian internasional bagi kapal-kapal demikian[8]. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak di inginkan sebagai bentuk kekhawatiran dari Negara pantai  pasal 25 memberikan wewenang kepada Negara pantai untuk mengambil langkah yang diperlukan seperti :
(a)    Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah lintas yang tidak damai
(b)   Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah setiap pelanggaran terhadao persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan pedalaman atau untuk singgah (transit) dipelabuhan
(c)    Menangguhkan untuk sementara waktu lintas damai di wilayah tertentu laut teritorialnya bagi lintas damai kapal asing apabila penangguhan itu dianggap sangat diperlukan untuk perlindungan keamanannya
Tidak ada pungutan yang dapat dibebankan pada kapal asing hanya karena melintasi laut teritorialnya, Pungutan dapat dibebankan pada kapal asing yang melintasi laut territorial hanya sebagai pembayaran bagi pelayanan khusus yang diberikan kepada kanal tersebut, Pungutan ini harus dibebankan tanpa diskriminasi[9].dilaut territorial, kapal selam dan kendaraan bawah air lainya diharuskan melakukan navigasi diatas permukaan air laut[10]  
2. Lintas Transit
Semua kapal dan pesawat udara mempunyai hak lintas transit, yang tidak boleh dihalangi; kecuali bahwa, apabila selat ini berada antara suatu pulau dan daratan utama Negara yang berbatasan dengan selat, lintas transit tidak berlaku apabila pada sisi ke arah laut pulau itu terdapat suatu rute melalui laut lepas atau melalui suatu zona ekonomi eksklusif yang sama fungsinya bertalian dengan sifat-sifat navigasi dan hidrografis[11].
Lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan berdasarkan Bab ini semata-mata untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya. Namun demikian persyaratan transit secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin tidak menutup kemungkinan bagi lintas melalui selat untuk maksud memasuki, meninggalkan atau kembali dari suatu Negara yang berbatasan dengan selat itu, dengan tunduk pada syarat-syarat masuk Negara itu[12].
Pasal 34 mengakui bahwa selat yang digunakan untuk pelayaran internasional berada dibawah kedaulatan penuh dari Negara pantai, meskipun demikian lintasan melalui wilayah perairan tersebut harus tunduk pada ketentuan-ketentuan bagian ini[13]. Ruang lingkup berlakunya ketentuan-ketentuan ini dikecualikan bagi :
(1)   Selat-selat yang termasuk dalam kategori Pasal 38 ayat 1 dan
(2)   Selat-selat yang termasuk dalam ketegori pasal 45 ayat 1 (b)[14]   
Dengan demikian lintas transit hanya berlaku untuk :
(1)   Lintasan melalui selat tanpa berhenti dari kedua arah
(2)   Lintasan melalui sebagian dari selat untuk memasuki atau meninggalkan Negara pantai, dan
(3)   Lintasan dari Negara pantai melalui sebagian dari selat menuju ke laut lepas atau zona ekonomi eksklusif[15].
Perlu diperhatikan bahwa untuk dapat disebut sebagai suatu lintas  transit, faktor utama yang menentukan adalah kedudukan selat sebagai perairan yang menghubungkan satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. Oleh karena itu untuk dapat dianggap sebagai lintas transit, suatu lintasan harus dimulai dan/atau berakhir pada satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa selat demikian hanya berlaku rezim lintas transit saja, karena masih dimungkinkan juga berlakunya rejim lintas damai selama lintasan tersebut bukan merupakan salah satu dari ketiga bentuk lintasan tersebut diatas[16].
Berbeda dengan lintas damai, untuk lintas transit tidak ada pembedaan pengaturan berdasarkan jenis kapal. Demikian juga, tidak terdapat persyaratan-persyaratan untuk pelaksanaan lintas itu sendiri, maupun kewajiban untuk meminta izin maupun memberitahukan terlebih dahulu. Dengan demikian lintas transit berlaku juga bagi kapal-kapal perang maupun pesawat udara militer. Meskipun demikian, dalam lintas transit tidak ada keharusan untuk meminta izin maupun memberitahukan terlebih dahulu[17].
Pasal 39 ayat 1 memberikan kewajiban kepada kapal dan pesawat udara sewaktu lintas transit harus
(a)    Lewat dengan cepat melalui atau di atas selat
(b)   Menghindari diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara yang berbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas hukum internasional yang dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
(c)    Menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus menerus langsung dan secepat mungkin dalam cara normal kecuali diperlukan karean force majeru atau karena kesulitan
(d)   Memenuhi ketentuan lain bab ini yang relevan
Kapal dalam lintas transit harus :
(a)    Memenuhi peraturan hukum internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktek tentang keselamatan di laut termasuk Peraturan Internasional tentang Pencegahan Tubrukan di laut
(b)   Memenuhi peraturan internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktek tentang pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kapal[18]
Pesawat udara dalam lintas transit harus
(a)    Mentaati peraturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (Internasional Civil Aviation Organisasi) sepanjang berlaku bagi pesawat udara sipil, pesawat udara pemerintah biasanya memenuhi tindakan keselamatan demikian dan setiap waktu beroperasi dengan mengindahkan keselamatan penerbangan sebagaimana mestinya
(b)   Setiap waktu memonitor frekwensi radio yang ditunjuk oleh otorita pengawas lalu lintas udara yang berwenang yang ditetapkan secara internasional atau oleh frekwensi radio darurat internasional yang tepat[19]
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum baik bagi kapal-kapal maupun pesawat udara. Pokok utama dari keajiban tersebut adalah bahwa dalam melakukan lintasan harus berjalan tanpa terhambat (delay), misalnya saja berlayar mundar-mandir tidak diperkenankan[20].
Pokok kedua menetapkan kewajiban bagi kapal-kapal dan pesawat udara untuk menghindarikan diri dari penggunaan ancaman atau kekerasan dalam bentuk apa pun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik dari Negara pada tepi selat. Di samping itu juga tidak dibenarkan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan asas-asas hukum internasional sebagaimana yang tercantum dalam piagam PBB[21] 
Pokok yang ketiga dari pengaturan ini menunjuk kepada kewajiban kapal-kapal dan pesawat udara selama transit, untuk memusatkan kegiatannya hanya kepada cara yang normal untuk melakukan lintasan langsung, terus-menerus dan secepat mungkin. Kewajiban yang terakhir ini tidak berlaku apabila berada dalam keadaan force majeure atau apabila sedang berada dalam kesulitan [22]             
Ketentuan-ketentuan pokok tentang hak Negara pantai untuk menetapkan peraturan perundang-undangan tentang lintas transit tercantum dalam Pasal 42, yang terbatas hanya pada hal-hal sebagai berikut:
(a)    Keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas dilaut sebagaimana ditentukan dalam pasal 41
(b)   Pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran dengan melaksanakan peraturan internasional yang berlaku, tentang pembuangan minyak, limbah berminyak dan bahan beracun lainya diselat.
(c)    Bertalian dengan kapal penangkap ikan, pencegahan penangkapan ikan, termasuk cara penyimpanan alat penangkap ikan
(d)   Menaikan ke atas kapal atau menurunkan dari kapal komoditi, mata uang atau orang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai,fiskal, imigrasi atau saniter Negara yang berbatasan dengan selat
Peraturan perudang-undangan demikian tidak boleh mengadakan diskriminasi formal atau diskriminasi nyata diantara kapal asing atau didalam pelaksanaannya yang membawa akibat praktis menolak, menghambat atau mengurangi hak lintas transit sebagaimana ditentukan dalam bagian ini[23].
Negara yang berbatasan dengan selat dapat menentukan alur laut dan dapat menetapkan skema pemisah lalu lintas untuk pelayaran di selat apabila diperlukan untuk meningkatkan lintasan yang aman bagi kapal[24]. Dengan persyaratan-persyaratan sebagai berikut[25]:
(1)   Harus sesuai dengan peraturan internasional yang diterima secara umum
(2)   Setiap penentuan atau penggantian alur dan skema pemisah lalu lintas harus berdasarkan penerimaan oleh organisasi internasional yang berwenang dan disepakati bersama dengannya
(3)   Harus mencantumkannya secara jelas pada peta yang diumumkan sebagaimana mestinya
Kapal dalam lintas transit harus menghormati alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang berlaku dan yang ditetapkan dengan ketentuan pasal ini[26]. Ketentuan konvensi ini yang berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi kapal perang, kapal bantuan, kendaraan air lainnya atau pesawat udara milik atau yang sedang dioperasikan oleh suatu Negara serta digunakan, pada saat ini, hanya untuk keperluan pemerintah yang bukan bersifat komersial. Walaupun demikian, setiap Negara harus menjamin, dengan menetapkan tindakan-tindakan yang tepat yang tidak menghalangi operasi atau kemampuan operasional kendaraan air atau pesawat udara yang memiliki atau dioperasikannya, bahwa kendaraan air atau pesawat uara dimaksud bertindak menurut cara yang konsisten, sepanjang hal itu beralasan dan dapat dilakukan[27]. Kapal perang diwajibakan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan Negara pantai mengenai hak lintas damai[28]
Kalau dihubungkan dengan ketentuan pasal 44, Negara pantai tidak mempunyai hak untuk menghalangi lintas transit yang dilakukan oleh kapal asing, sebaliknya, pasal 25 ayat 1 justru secara pasti memberikan wewenang kepada Negara pantai untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah lintas yang tidak damai, karena ketentuan serupa tidak ada dalam pelaksanaan hak lintas transit, Negara pantai tampaknya tidak mempunyai wewenang apapun untuk mencegah lintasan yang tidak memenuhi persyaratan pasal 38 tersebut diatas[29]
Suatu hal yang menarik dalam pengaturan tentang lintas transit ini adalah tidak adanya keharusan bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air, hal ini jelas berbeda dengan ketentuan pasal 20 tentang lintas damai yang pelaksanaannya juga berlaku bagi lintas damai melalui selat. Kewajiban seperti itu tidak adala dalam bagian 2 ini. Masalah ini menimbulkan suatu perdebadatan akademis yang cukup menarik di antara para ahli hukum laut, masing-masing dengan interprestasinya sendiri.[30] Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa pada wilayah perairan tertentu walaupun tidak ada keharusan demi keselamatan pelayaran kapal selam akan terpaksa berlayar  di permukaan air
Negara bendera suatu kapal atau negara dimana terdaftar suatu pesawat udara yang berhak atas kekebalan, yang bertindak secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebut atau ketentuan lain bab ini, harus memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian atau kerusakan yang diderita oleh negara yang berbatasan dengan selat[31]
3.Lintas Alur-alur Laut Kepulauan
Konsepsi perairan kepulauan (archipelago water) merupakan konsepsi baru yang dimuat dalam konvensi hukum laut 1982. Sebelumnya wilayah-wilayah perairan dimana negara pantai harus memberikan akomodasi dalam bentuk hak untuk melakukan lintasan bagi kapal-kapal asing, hanya terbatas pada laut teritorialnya dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional[32].
Lintas alur laut kepulauan berarti pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi ini dalam cara normal semata-mata untuk melakukan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainya[33]
Jadi pokok utama dari pengaturan tentang hak lintas alur laut kepulauan adalah bahwa lintasan ini selain dalam bentuk lintas pelayaran ini juga mencakup lintas penerbangan, yang dilakukan dalam cara yang normal, kedua pasal ini menyebutkan adanya keharusan bahwa lintas pelayaran atau penerbangan tersebut hanya dimaksudkan untuk suatu lintasan terus menerus, langsung, secepat mungkin dan tidak terhalang. Pokok ketigannya menetapkan bahwa lintasan tersebut harus dilakukan antara satu bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif[34].
Suatu negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan dia atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus dan langsung secepat mungkin melalui laut diatas perairan kepulauannya dan luat territorial yang berdampingan dengannya[35]. Alur-alur laut dan rute penerbangan demikina harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut[36]:
(1)   Harus melalui perairan kepulauan dan laut territorial yang berbatasan dengannya
(2)   Merupakan rute-rute lintasan yang biasa digunakan untuk pelayaran dan penerbangan internasional
(3)   Mencakup semua alur navigasi yang biasa digunakan oleh kapal-kapal, sepanjang tidak mengakibatkan duplikasi bagi alur keluar dan masuk untuk satu arah yang sama
(4)   Ditetapkan melalui suatu rangkaian garis poros (garis sumbu) yang bersambung dan membentang mulai dari titik-titik masuk sampai ke titik-titik terluar rute lintasan tersebut
Menentukan atau mengganti alur laut atau menetapkan atau mengganti skema pemisah lalu lintas, suatu negara kepulauan harus mengajukan usul-usul kepada organisasi internasional berwenang dengan maksud untuk dapat diterima. Organisasi tersebut hanya dapat menerima alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang demikian sebagaimana disetujui bersama dengan negara kepulaua, setelah mana negara kepulauan dapat menentukan,menetapkan atau menggantinya[37]
Sesuai dengan ketentuan pasal 54, hak dan kewajiban bagi kapal-kapal yang melakukan lintasan juga tunduk pada pengaturan yang sama seperti dalam pelaksanaan hak lintas transit. Pokok utama dari pengaturan ini adalah bahwa semua kapal dan pesawat udara dapat melakukan hak lintas alur laut kepulauan melalui alur-alur laut dan rute penerbangan yang telah ditetapkan. Dengan demikian hak ini juga dapat dinikmati oleh kapal-kapal perang maupun pesawat udara militer[38]
Selama melakukan lintasan tidak diperkenankan untuk menyimpang lebih dari 25 mil laut kearah dua sisi dari garis sumbu alur-alur tadi. Disamping itu kapal-kapal tidak diperkenankan untuk berlayar mendekati pantai pada jarak dari 10% dari jarak antara titik-titik terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur-alaur tersebut[39].
Pasal 39 mermberikan perincian tentang rangkaian kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh kapal-kapal dan pesawat udara yang dibedakan antara :
(1)   Kewajiban-kejiwaban yang berlaku umum baik bagi kapal-kapal maupun pesawat udara
(2)   Kewajiban-kewajiban yang berlaku bagi kapal-kapal dan
(3)   Kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh pesawat udara[40]
Pokok-pokok utama dari pengaturan yang dirinci oleh ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat digambarkan dalam bentuk kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi baik oleh kapal-kapal maupun pesawat udara yaitu untuk :
(1)   Melakukan lintas yang cepat
(2)   Mencegah timbulnya ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap negara kepulauan
(3)   Tidak melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan asas-asas umum hukum internasional seperti yang tercantum dalam Piagam perserikatan bangsa-bangsa
(4)   Memusatkan kegiatan selama melakukan lintasan hanya kepaa maksud untuk melakukan lintasan yang langsung, terus menerus dan secepat mungkin dan
(5)   Mematuhi peraturan maupun standar internasional yang telah diterima secara umum tentang keselamatan pelayaran atau penerbangan serta tentang pencegahan pencemaran[41]
Seperti telah diuraikan pada bagian tentang hak lintas transit, kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada kapal dan pesawat udara asing ini tidak secara otomatis melahirkan hak-hak bagi negara kepulauan. Dengan demikian pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pasal 39 dan 40 ini tidak dapat dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan pasal 53 ayat 3. Seperti juga halnya degan lintas transit, hak negara kepulauan untuk mengatur pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan melalui perairan kepulauannya terbatas hanya kepada hal-hal yang tercantum dalam pasal 42 ayat 1[42]
Menurut Prof Etty R. Agoes yang berpendapat bahwa hak lintas alur laut kepulauan mempunyai derajat yang sama dengan hak lintas transit. Oleh karena hak lintas transit mengandung unsur kebebasan pelayaran, dan demikian meluangkan dak kapal selama untuk berlayar dibawah permukaan air, maka hal yang sama pun dapat dibenarkan pada pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan.
Dalam menetapkan alur-alaur laut dan skema pemisah lalu lintas tersebut, negara kepulauan harus memenuhi persyaratan-persyaratan seperti dibawah ini:
(1)   Harus sesuai dengan aturan internasional yang diterima secara umum
(2)   Setiap penetapan atau penggantian tersebut harus berdasarkan kepada penerimaan oleh organisasi internasional yang berwenang dan disepakati bersama dengan negara kepulauan
(3)   Harus mencantumkan secara jelas sumbu dari alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang telah ditetapkannya tersebut pada peta-peta yang harus di umumkan sebagaimana mestinya[43]
Negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan kegiatan demikian, berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. Hak demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga negaranya[44].
Suatu negara kepulauan harus menghormati kebel laut yang ada yang dipasang oleh negara lain yang melalui perairannya tanpa melalui darat. Suatu negara kepulauan harus mengijinkan pemeliharaan dan penggantian kabel demikian setelah diterimanya pemberitahuan yang semestinya mengenai letak dan maksud untuk memperbaiki atau menggantinya[45]
  



                          


[1] Pasal 19 ayat 1 dan 2 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
[2] Etty R. Agoes. Masalah Pengaturan Hak LIntas Kapal Asing. Abardin. 1991
[3] Ibid
[4] Idem. Hal 125
[5] Ibid
[6] Pasal 22 ayat 1 dan 2 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
[7] Pasal 22 ayar 3 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
[8] Pasal 23 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
[9] Pasal 26 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
[10] Pasal 20 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea

[11] Pasal 38 ayat 1 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
[12] Pasal 38 ayat 2  United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
13 Etty R. Agoes. Op Cit. hal 128
                    14 ibid

[15] Idem. Hal 129
[16] ibid
[17] ibid
[18] Pasal 39 ayat 2 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
[19] Pasal 39 ayat 3 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
[20] Etty R. Agoes. Op Cit. hal 132
[21] Ibid
[22] ibid
[23] Pasal 42 ayat 2 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
[24] Pasal 41 ayat 1 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
25 Etty R. Agoes. Op Cit. hal 130
                   26 Pasal 41 ayat 7 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea

[27] Pasal 236  United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
[28] Etty R. Agoes. Op Cit hal 137
[29] Etty R. Agoes. Op Cit hal 134
[30] ibid
[31] Pasal 42 ayat 5 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
[32] Etty R. Agoes. Op Cit hal 138

[33] Pasal 53 ayat 3 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
[34] Etty R. Agoes. loc cit. hal 138
[35] Pasal 53 ayat 1 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
36 Etty R. Agoes. Op. cit. hal 142

[37] Pasal 53 ayat 9 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea

[38] Etty R. Agoes. Op. cit. hal 143
[39] Ibid
[40] ibid
[41] Idem. Hal 144
[42] Idem hal 145
[43] Idem hal 142
[44] Pasal 51 ayat 1 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea
[45] Pasal 51 ayat 2 United Nations Convention Of  The Law Of The Sea

Tidak ada komentar:

Posting Komentar