PERLINDUNGAN
TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DIKAWASAN ASIA TENGGARA DALAM PRESPEKTIF
HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
I.
PENDAHULUAN
Hukum
lingkungan internasional (huklin) merupakan bidang baru (new development) dalam sistem hukum internasional. Bidang baru ini
dapat pula dianggap bagian dari hukum baru dengan nama hukum lingkungan laut
internasional[1].
Untuk membahas sistem hukum lingkungan internasional ini menurut dapat dikaji
dalam kerangka hukum internasional berdasarkan, (i) customary international law (CIL) dan (ii) conventional international law, dari kedua sumber hukum ini telah
tumbuh hukum lingkungan internasional sebagai bagian dari hukum lingkungan[2].
Terkait
dengan lingkungan laut terdapat sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non
hayati, sebagai sarana penghubung, media rekreasi dan lain sebagainya. oleh
karena itu sangat penting untuk melindungi lingkungan laut dari ancaman
pencemaran yang bersumber dari operasi kapal tanker, kecelakaan kapal tanker,
scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua), serta
kebocoran minyak dan gas dilepas pantai. Hal ini penting dilakukan agar
lingkungan laut diperairan Asia Tenggara yang merupakan daerah yang paling produktif
dapat dinikmati secara berkelanjutan, baik bagi generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang[3].
Perairan
Asia Tenggara mencakup didalamnya laut Andanan, Selat Malaka dan Singapura,
Laut Cina Selatan, perairan kepulauan Indonesia dan Filipina termasuk laut
arafuru dan Laut Celebes. Seluruh perairan ini meliputi luas 8.94 juta km2
yang merupakan 2,5% dari permukaan laut dan dunia[4].
Dengan luas perairan yang dimiliki kawasan Asia Tengara menyebabkan lebih 7%
dari penduduk dikawasan ini hidup didaerah pantai[5]. suatu
hal yang menyebabkan tingkat eksploitasi yang tinggi daripada sumber kekayaan
alam dan pemburukan lingkungan.
Pada
saat ini zat pencemar yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan laut
adalah minyak[6].
Setiap tahunnya 3 sampai 4 juta ton minyak mencemari lingkungan laut[7].
Pada tahun 2009 misalnya terjadi pencemaran Laut Timur Indonesia oleh
perusahaan Montana Australia[8], yang
menurut Balai Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). Hasil survey mereka pada
tanggal 4 November 2009, luas terdampak pencemaran mencapai 16.420 kilometer
persegi.
Zat
pencemar dalam hal ini minyak yang masuk pada ekosistem laut tidak hanya dapat
secara langsung merusak lingkungan laut, namun lebih jauh dapat pula berbahaya
bagi suplay makanan dan habitat
lingkungan laut yang merupakan sumber kekayaan alam bagi suatu Negara khususnya
bagi kawasan Asia Tengggara yang penduduknya banyak bergantung pada hasil
perikanan. Dalam hal ini terdapat beberapa aturan hukum lingkungan
internasional yang mengatur masalah pencemaran lingkungan laut yaitu:
(1). United Nation Covention on the Law of the Sea
1982 (UNCLOS)
(2). International
Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil Liability
Convention).
(3). Convention
on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter
1972 (London Dumping Convention).
(4). The
International Covention on Oil Pollution Preparedness Response And Cooperation
1990 (OPRC).
(5).
International
Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine
Pollution).
Berdasarkan latar belakang permasalahan
sebagaimana telah diuraikan secara tingkas diatas, maka penulis akan mencoba
mengkaji lebih jauh lagi, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk makalah
yang diberi judul “Perlindungan Terhadap Pencemaran Lingkungan Laut Dikawasan Asia Tenggara Dalam Prespektif Hukum
Lingkungan Internasional”. Dari judul ini penulis akan menganalisis secara
yuridis yang akan diarahkan untuk menjawab pertanyaan mengenai sejauhmana penanggulangan pencemaran lingkungan laut diperairan
asia tenggara dalam prespektif Hukum Lingkungan internasional. Adapun tujuan
dari makalah ini adalah memberikan gambaran terhadap perkembangan hukum
lingkungan internasional serta pencemaran lingkungan laut yang terjadi di
perairan Asia Tenggara
II.
PERKEMBANGAN
PENGATURAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DALAM HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
A.
United
Nation Covention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)
Konvensi
Hukum Laut 1982 adalah merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yang
disetujui di montego Bay, Jamaica tanggal 10 Desember 1982[9]. Konvensi Hukum Laut 1982 secara lengkap
mengatur perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (protection and
preservation of the marine environment) yang terdapat dalam Pasal 192-237.
Pasal
192 berbunyi : yang menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai kewajiban untuk
melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 193 menggariskan prinsip
penting dalam pemanfaatan sumber daya di lingkungan laut, yaitu prinsip yang
berbunyi : bahwa setiap Negara mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi
sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka dan sesuai dengan
kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
Konvensi
Hukum Laut 1982 meminta setiap Negara untuk melakukan upaya-upaya guna mencegah
(prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control) pencemaran lingkungan laut dari
setiap sumber pencemaran, seperti pencemaran dari pembuangan limbah berbahaya
dan beracun yang berasal dari sumber daratan (land-based sources), dumping, dari kapal, dari instalasi eksplorasi
dan eksploitasi. Dalam berbagai upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian
pencemaran lingkungan tersebut setiap Negara harus melakukan kerja sama baik
kerja sama regional maupun global sebagaimana yang diatur oleh Pasal 197-201
Konvensi Hukum Laut 1982. Negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai
kewajiban untuk menaati semua ketentuan Konvensi tersebut berkenaan dengan
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yaitu antara lain sebagai berikut
:
1.
Kewajiban membuat peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut yang
mengatur secara komprehensif termasuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut
dari berbagai sumber pencemaran, seperti pencemaran dari darat, kapal, dumping,
dan lainnya. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut termasuk penegakan
hukumnya, yaitu proses pengadilannya
2.
Kewajiban melakukan upaya-upaya
mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut,
3.
Kewajiban melakukan kerja sama regional
dan global, kalau kerja sama regional berarti kerja sama ditingkat
negara-negara anggota ASEAN, dan kerja sama global berarti dengan negara lain
yang melibatkan negara-negara di luar ASEAN karena sekarang persoalan
pencemaran lingkungan laut adalah persoalan global, sehingga penanganannya
harus global juga.
4.
Negara harus mempunyai peraturan dan
peralatan sebagai bagian dari contingency
plan
5.
Peraturan perundang-undangan tersebut
disertai dengan proses mekanisme pertanggungjawaban dan kewajiban ganti ruginya
bagi pihak yang dirugikan akibat terjadinya pencemaran laut.
Dalam
melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut
tersebut, setiap Negara diharuskan melakukan kerja sama baik kerja sama
regional maupun global. Keharusan untuk melakukan kerja sama regional dan
global (global and regional co-operation)
diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 197 Konvensi berbunyi
: “Negara-negara harus bekerja sama secara global dan regional secara langsung
atau melalui organisasi internasional dalam merumuskan dan menjelaskan
ketentuan dan standard internasional serta prosedur dan praktik yang disarankan
sesuai dengan Konvensi bagi perlindingan dan pelestarian lingkungan laut dengan
memperhatikan keadaan regional tersebut”.
Kerja
sama regional dan global tersebut dapat berupa kerja sama dalam pemberitahuan
adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas terjadinya
pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans against
pollution), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat kriteria
ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan praktik bagi
pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut
sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 198-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Di samping
itu, Pasal 207-212 Konvensi Hukum Laut 1982 mewajibkan setiap Negara untuk
membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pencegahan dan pengendalian
pencemaran laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti sumber pencemaran dari
darat (land-based sources),
pencemaran dari kegiatan dasar laut dalam jurisdiksi nasionalnya (pollution from sea-bed activities to
national jurisdiction), pencemaran dari kegiatan di Kawasan (pollution from activities in the Area),
pencemaran dari dumping (pollution by
dumping), pencemaran dari kapal (pollution
from vessels), dan pencemaran dari udara (pollution from or through the atmosphere).
Tanggung
Jawab Dan Kewajiban Ganti Rugi
Konvensi
Hukum Laut 1982 mengatur persoalan tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi
berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Pasal 235
Konvensi menegaskan bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban internasional mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut,
sehingga semua Negara harus memikul kewajiban ganti rugi sesuai dengan hukum
internasional.
Setiap
Negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan tentang kompensasi yang
segera dan memadai atas kerugian (damage)
yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut yang dilakukan orang (natural
person) atau badan hukum (juridical person) yang berada dalam jurisdiksinya.
Oleh karena itu, setiap Negara harus bekerja sama dalam mengimplementasikan
hukum internasional yang mengatur tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk
kompensasi atas kerugian akibat pencemaran lingkungan laut, dan juga prosedur
pembayarannya seperti apakah dengan adanya asuransi wajib atau dana kompensasi.
Tanggung
jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut tanggung jawab Negara (state sovereignty) merupakan prinsip
fundamental dalam hukum internasional, sehingga kalau terjadi pelanggaran
kewajiban internasional akan timbul tanggung jawab Negara. Pelanggaran
kewajiban internasional tersebut seperti tidak melaksanakan ketentuan-ketenuan
yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang sudah mengikat negaranya.
Belum ada perjanjian yang secara khusus mengatur tanggung jawab Negara dalam
hukum internasional. Selama ini persoalan tanggung jawab Negara mengacu pada Draft Articles on Responsibility of States
for International Wrongful Acts yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional
International Law Commission (ILC)
yang menyatakan: setiap tindakan negara yang salah secara internasional
membebani kewajiban Negara yang bersangkutan[10]
B.
International
Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil Liability
Convention).
Konvensi
Internasional Mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di
Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage).
CLC 1969 merupakan konvensi yang mengatur tentang ganti rugi pencemaran laut
oleh minyak karena kecelakaan kapal tanker. Konvensi ini berlaku untuk
pencemaran lingkungan laut di laut territorial Negara peserta. Dalam hal
pertanggungjawaban ganti rugi pencemaran lingkungan laut maka prinsip yang
dipakai adalah prinsip tanggung jawab mutlak.
Lingkup Berlakunya
konvensi ini berlaku
hanya pada kerusakan pencemaran minyak mentah (persistent oil) yang tertumpah dan muatan kapal tangki. Konvensi
tersebut mencakup kerusakan pencemaran lokasi termasuk perairan negara anggota
konvensi Negara Bendera Kapal dan Kebangsaan pemilik kapal tangki tidak
tercakup dalam tingkup aplikasi dan CLC
Convention. Notasi “kerusakan pencemaran” (Pollution Damage), termasuk usaha melakukan Pencegahan atau
mengurangi kerusakan akibat pencemaran didaerah teritorial negara anggota
konvens, (Preventive measures).
Konvensi ini
diberlakukan hanya pada kerusakan yang disebabkan oleh tumpahan muatan minyak
dari kapal tangki dan tidak termasuk tumpahan minyak yang bukan muatan atau
usaha pencegahan murni yang dilakukan dimana tidak ada sama sekali Minyak yang
tumpah dari kapal tangki. Konvensi ini juga hanya berlaku pada kapal yang
mengangkut minyak sebagai muatan yakni kapal tangki pengangkut minyak. Tumpahan
(Spills) dari kapal tangki dalam
pelayaran “Ballast Condition” dan
spills dari bunker oil atau kapal selain kapal tangki tidak termasuk dalam
konvensi ini, Kerusakan yang disebabkan oleh “Non-presistent Oil” seperti gasoline, kerosene, light diesel oil, dan
lain sebagainya, juga tidak termasuk dalam CLC Convention.
Tanggung Jawab Mutlak
Pemilik kapal
tangki mempunyai kewajiban ganti rugi terhadap kerusakan pencemaran yang disebabkan
oleh tumpahan minyak dan kapalnya akibat kecelakaan. Pemilik dapat terbebas dan
kewajiban tersebut hanya dengan alasan :
1.
Kerusakan sebagai akibat perang atau bencana
alam.
2.
Kerusakan sebagai akibat dan sabotase pihak
lain, atau
3.
Kerusakan yang disebabkan oleh karena pihak
berwenang tidak memelihara alat bantu navigasi dengan baik.
Alasan pengecualian tersebut
diatas sangat terbatas, dan pemilik boleh dikatakan berkewajiban memberikan
ganti rugi akibat kerusakan pencemaran pada hampir semua kecelakaan yang
terjadi.
Batas Kewajiban Ganti
Rugi (Limitation
of Liability)
Pada kondisi
tertentu, pemilik kapal memberikan kompensasi ganti rugi dengan batas 133 SDR (Special Drawing Rights) perton dari
tonage kapal atau 14 juta SDR, atau sekitar US$ 19,3 juta diambil yang lebih
kecil. Apabila pihak yang mengklaim (Claimant)
dapat membuktikan bahwa kecelakaan terjadi karena kesalahan pribadi (actual fault of privity) dari pemilik,
maka batas ganti rugi (limit his
liability) untuk pemilik kapal tidak diberikan.
Permintaan Ganti Rugi (Channeling
of Liability)
KIaim terhadap
kerusakan pencemaran di bawah CLC Convention hanya dapat ditujukkan pada
pemilik kapal terdaftar. Hal ini tldak menghalangi korban mengklaim kompensasi
ganti rugi diluar konvensi ini dari orang lain selain pemlik kapal. Namun
demikian, konvensi melarang melakukan klaim kepada perwakilan atau agen pemilik
kapal. Pemilik kapal harus mengatasi masalah klaim dari pihak ketiga berdasarkan
hukum nasional yang berlaku.
C.
Convention
on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter
1972 (London Dumping Convention).
London Dumping Convention merupakan Konvensi
Internasional untuk mencegah terjadinya Pembuangan (dumping), yang dimaksud adalah pembuangan limbah yang berbahaya
baik itu dari kapal laut, pesawat udara ataupun pabrik industri. Para Negara konvensi berkewajiban untuk
memperhatikan tindakan dumping tersebut. Dumping dapat menyebabkan pencemaran
laut yang mengakibatkan ancaman kesehatan bagi manusia, merusak ekosistem dan
mengganggu kenyamanan lintasan di laut.
Beberapa jenis limbah berbahaya yang mengandung zat
terlarang diatur dalam London Dumping Convention adalah air raksa, plastik,
bahan sintetik, sisa residu minyak, bahan campuran radio aktif dan lain-lain.
Pengecualian dari tindakan dumping ini adalah apabila ada “foce majeur”, yaitu dimana pada suatu keadaan terdapat hal yang
membahayakan kehidupan manusia atau keadaan yang dapat mengakibatkan keselamatan
bagi kapal-kapal.
D. The International Covention on Oil Pollution
Preparedness Response And Cooperation 1990 (OPRC).
OPRC adalah sebuah konvensi kerjasama
internasional menanggulangi pencemaran laut dikarenakan tumpahan minyak dan
bahan beracun yang berbahaya. Dari pengertian yang ada, maka dapat kita
simpulkan bahwa Konvensi ini dengan cepat memberikan bantuan ataupun
pertolongan bagi korban pencemaran laut tersebut, pertolongan tersebut dengan
cara penyediaan peralatan bantuan agar upaya pemulihan dan evakuasi korban
dapat ditanggulangi dengan segera.
Pencemaran laut oleh tumpahan minyak
bukan merupakan hal yang baru bagi Negara-negara Asia Tenggara khususnya di
Indonesia, sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2009 pencemaran laut
dikarenakan tumpahan minyak berulang kali terjadi di Kepulauan Seribu,
korbannya adalah para masyarakat pesisir dan nelayan, dampak pencemaran laut
oleh minyak sangatlah luas, laut yang tercemar oleh minyak akan menyebabkan
gangguan pada fungsi ekosistem di pesisir laut, kehidupan aquatic pantai
seperti terumbu karang, hutan mangrove dan ikan akan terganggu. Pada sisi
ekonomi, hasil tangkapan seperti udang dan ikan tentu akan beraroma minyak yang
berdampak pada nilai jual yang rendah dan mutu ataupun kualitas menurun. Dengan adanya gelombang, arus dan
pergerakan massa air pasang surut, residu minyak akan tersebar dengan cepat.
Bila tidak ditangani dengan segera, pencemaran limbah minyak ini akan membawa
dampak kesehatan bagi masyarakat yang mengkonsumsi ikan yang tercemar.
Indonesia juga memiliki aturan mengenai
pencemaran laut yang disebabkan oleh tumpahan minyak dilaut tersebut. Bagi
pelaku pencemaran laut oleh tumpahan minyak, dalam hal ini kapal-kapal tanker
wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak yang berasal
dari kapalnya, yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Keadaan Darurat
Tumpahan Minyak Di Laut.
e. International
Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine Pollution).
Marpol
73/78 adalah konvensi internasional untuk pencegahan pencemaran dari kapal,1973
sebagaimana diubah oleh protocol 1978. Marpol 73/78 dirancang dengan tujuan
untuk meminimalkan pencemaran laut , dan melestarikan lingkungan laut melalui
penghapusan pencemaran lengkap oleh minyak dan zat berbahaya lainya dan
meminimalkan pembuangan zat-zat tersebut tanpa disengaja.
MARPOL 73/78 garis besarnya mengatur :
1.
mewajibkan
negara untuk menyediakan fasilitas penerimaan untuk pembuangan limbah berminyak
dan bahan kimia. Ini mencakup semua aspek teknis pencemaran dari kapal, kecuali
pembuangan limbah ke laut oleh dumping, dan berlaku untuk kapal-kapal dari
semua jenis, meskipun tidak berlaku untuk pencemaran yang timbul dari
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral laut.
2. Semua kapal berbendera di bawah
Negara-negara yang menandatangani marpol tunduk pada persyaratan , tanpa
memperhatikan tempat mereka berlayar dan Negara anggota bertanggung jawab atas
kapal yang terdaftar dibawah kebangsaan Negara masing-masing.
3. Setiap Negara penandatangan
bertanggung jawab untuk memberlakukan undang-undang domestic untuk melaksanakan
konvensi dan berjanji untuk mematuhi konvensi, lampiran dan hukum terkait
bangsa-bangsa lain;
4. mengatur desain dan peralatan kapal;
5. menetapkan sistem sertifikat dan
inspeksi
International
Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973
yang kemudian disempurnakan dengan Protocol pada tahun 1978 dan konvensi ini
dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978. MARPOL 1973/1978 memuat 6 (enam) Annexes
yang berisi regulasi-regulasi mengenai pencegahan polusi dari kapal terhadap :
a. Annex
I : Prevention of pollution by oil ( 2 october
1983 )
Total
hydrocarbons (oily waters, crude, bilge water, used oils, dll) yang diizinkan
untuk dibuang ke laut oleh sebuah kapal adalah tidak boleh melebihi 1/15000
dari total muatan kapal. Sebagai tambahan, pembuangan limbah tidak boleh
melebihi 60 liter
setiap mil perjalanan kapal dan dihitung setelah kapal berjarak lebih 50 mil
dari tepi pantai terdekat. Register Kapal harus memuat daftar jenis sampah yang
dibawa/dihasilkan dan jumlah limbah minyak yang ada. Register Kapal harus
dilaporkan ke pejabat pelabuhan.
b. Annex
II : Control of pollution by noxious liquid
substances ( 6 april 1987
Aturan ini memuat sekitar 250 jenis barang
yang tidak boleh dibuang ke laut, hanya dapat disimpan dan selanjutnya diolah
ketika sampai di pelabuhan. Pelarangan pembuangan limbah dalam jarak 12 mil
laut dari tepi pantai terdekat.
c. Annex III : Prevention
of pollution by harmful substances in packaged form ( 1 july 1992 )
Aturan
tambahan ini tidak dilaksanakan oleh semua negar yaitu aturan standar
pengemasan, pelabelan, metode penyimpanan dan dokumentasi atas limbah berbahaya
yang dihasilkan kapal ketika sedang berlayar
d.
Annex IV :
Prevention of pollution by sewage from
ships ( 27 september 2003 )
Aturan
ini khusus untuk faecal waters dan
aturan kontaminasi yang dapat diterima pada tingkatan (batasan) tertentu.
Cairan pembunuh kuman (disinfektan) dapat dibuang ke laut dengan jarak lebih
dari 4 mil laut dari pantai terdekat. Air buangan yang tidak diolah dapat
dibuang ke laut dengan jarak lebih 12 mil laut dari pantai terdekat dengan
syarat kapal berlayar dengan kecepatan 4 knot.
e.
Annex V : Prevention of pollution by garbage from ships ( 31 december 1988)
Aturan yang mengatur tentang melarang
pembuangan sampah plastik ke laut.
f.
Annex IV
: Prevention of air pollution by
ships
Aturan ini tidak
dapat efektif dilaksanakan karena tidak cukupnya negara yang meratifiskasi
(menandatangani persetujuan.)
MARPOL
1973/1978 memuat peraturan untuk mencegah seminimum mungkin minyak yang
mencemari laut. Tetapi, kemudian pada tahun 1984 dilakukan beberapa modifikasi
yang menitik-beratkan pencegahan hanya pada kagiatan operasi kapal tangki pada
Annex I dan yang terutama adalah keharusan kapal untuk dilengkapai dengan Oily Water Separating Equipment dan Oil
Discharge Monitoring Systems.
III. PENCEMARAN TERHADAP LINGKUNGAN LAUT DI
PERAIRAN ASIA TENGGARA
Dalam
dasawarsa terakhir ini gejala pencemaran lingkungan laut (the pollution of marine environment) [11]
kian hari menarik perhatian berbagai pihak, baik diwujudkan dalam bentuk
kerjasama Negara-negara yang berada dikawasan tertentu maupun penelitian yang
dilakukan oleh Negara itu sendiri. Sejalan
dengan hal tersebut M. Daud Silalahi mengatakan pencemaran dapat
diartikan sebagai bentuk environmental impairment, adanya gangguan, perubahan,
atau perusakan. Bahkan, adanya benda asing di dalamnya yang menyebabkan unsur
lingkungan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (reasonable function)[12] sedangkan Dalam konvensi hukum laut 1982
disebutkan bahwa :
Pencemaran lingkungan laut berarti
dimasukkannya oleh manusia secara langsung atau
tidak langsung bahan atau energi ke dalam lingkungan laut termasuk kuala yang
mengakibatkan atau mungkin membawa akibat buruk sedemikian rupa seperti
kerusakan pada kekayaan hati dan kehidupan di laut, bahaya bagi kesehatan
manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan
penggunaan laut yang sah lainnya, penurunan kualitas kegunaan air laut dan
mengurangi kenyamanan[13]
Dari
pengertian diatas dapat kita lihat bahwa pencemaran lingkungan laut itu
disebabkan beberapa faktor-faktor yang mengakibatkan menurunya kualitas air
laut itu sendiri, terkait dengan hal
pencemaran minyak dikawan asia tenggara yang merupakan daerah yang
sangat produktif terjadi pencemaran yang sangat merugikan bagi kawasan asia
tenggara yang setiap tahunnya 3 sampai 4
juta ton minyak mencemari lingkungan laut, pencemaran tersebut bersifat lintas
batas negara sehingga bukan hanya Negara yang menjadi korban saja yang kena
dampaknya tetapi semua Negara yang pantainya saling berdekatan pasti terkena
dampaknya.
sumber
pencemaran dilaut beragam sumbernya sebagaimana yang penulis telah sebutkan
pada latar belakang diatas, yaitu operasi kapal tanker, kecelakaan kapal
tanker, scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua), serta
kebocoran minyak dan gas dilepas pantai.
a.
Operasi
kapal tanker[14]
Produk minyak dunia diperkirakan
sebanyak 3 miliar ton/tahun dan setengahnya dikirimkan melalui laut. Setelah
kapal tanker memuat minyak kargo, kapal pun membawa air ballast (sistem
kestabilan kapal menggunakan mekanisme bongkar – muat air) yang biasanya ditempatkan
dalam tangki slop. Sampai dipelabuhan bongkar, setelah proses bongkar selesai
sisa muatan minyak dalam tangki dan juga air ballast yang kotor disalurkan ke
dalam tangki slop. Tangki muatan yang telah kosong tadi dibersihkan dengan
water jet, proses pembersihan tangki ini ditujukan untuk menjaga agar tangki
diganti dengan air ballast baru untuk kebutuhan pada pelayaran selanjutnya.
Hasil buangan dimana bercampur antara
air dan minyak ini pun di alirkan kedalam tangki slop. Sehingga didalam tangki
slop terdapat campuran minyak dan air. Sebelum kapal berlayar, bagian air dalam
tangki slop harus dikosongkan dengan memompakannya ke tangki penampung limbah
di terminal atau dipompakan kelaut dan diganti dengan air ballast yang baru.
Tidak dapat disangkal buangan air yang dipompakan ke laut masih mengandung
minyak dan ini akan berakibat pada pencemaran laut tempat terjadi bongkar muat
kapal
b.
Kecelakaan
kapal tanker
Beberapa
penyebab kecelakaan tanker adalah kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran
dan tabrakan. Beberapa kasus di perairan selat malaka adalah karna dangkalnya
perairan dimana kapal dalam muatan keadaan pernuh[15].
Tercatat beberapa kasus tumpahnya minyak akibat dari kandasnya kapal misalnya
kandasnya kapal showa Maru diselat malaka dan selat singapura pada tahun 1975[16],
diperkirakan 4.500 kilo liter minyak mentah sudah berceceran kelaut dan telah
meliputi laut sejauh 5 km dari tempat kejadian[17] yang membuka mata Negara-negara asia tenggara
betapa pentingnya perlindung terhadap laut dari pencemaran.
c.
Scrapping
kapal
Proses
scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua) ini banyak
dilakukan oleh di industri kapal di asia tenggara termasuk Indonesia sendiri.
Akibat proses ini banyak kandungan metal dan lainnya termasuk kandungan minyak
yang terbuang kelaut diperkirakan sekitar 1.500 ton/tahun minyak yang terbuang
ke laut akibat proses ini dapat merusakan lingkungan laut yang berada disekitar
industri kapal dinik
d.
Kebocoran
minyak dan gas dilepas pantai
Pada tanggal 21 Agustus 2009 telah
terjadi kebocoran minyak bumi akibat terjadinya ledakan bawah laut offshore
rig yang dioperasikan oleh The Montara Well Head Platform di Blok West
Atlas, 140 mil laut utara Perairan Australia pada posisi 120 41’
Lintang Selatan (LS) dan 1240 32’ Bujur Timur (BT). Kebocoran
ini telah menumpahkan minyak mentah (crude oil) dan gas hidrokarbon
lebih-kurang 64 ton per hari. Tumpahan minyak tersebut telah memasuki wilayah
perairan laut Provinsi NTT sejauh 50 mil atau lebih-kurang 70 km arah tenggara
Pulau Rote[18].
Hal ini jelas mencemari lingkungan laut
Kawasan
asia tenggara terletak di antara benua Asia dan Australia, yang merupakan
wilayah yang sangat produktif akan sumber daya alamnya. Disamping itu perairan
wilayah asia tenggara ini merupakan daerah yang banyak dilalui oleh kapal-kapal
pengankut minyak maupun kargo barang karna wilayah asia tenggara merupakan
jalur perdagangan sehingga tidak mengherankan banyak kapal tiap tahunnya lewat
perairan asia tenggara. Sehingga perairan asia tenggara sangat rentang akan
pencemaran lingkungan laut.
Banyaknya
kasus pencemaran di perairan asia tenggara nanti membuming dan menggemparkan
dunia internasional termasuk Negara-negara dikawasan Asia Tenggara yang menjadi
korban dari pencemaran tersebut dimana pada waktu kasus tangki raksasa jepang
“Showa Maru” yang berbendera jepang berukuran 237.698 ton penuh dengan muatan
minyak mentah dari daerah teluk Persia menuju jepang kandas diperairan selat
malaka pada tahun 1975.
Bagi
bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari wilayah Asia tenggara kasus Showa
Maru merupakan tonggak sejarah terbangunannya perhatian dan keprihatinan
masyarakat luas terhadap keselamatan dan kelestarian lingkungan laut nusantara[19].
Masyakat hukum Indonesia sendiri tergugah untuk segera bertindak nyata
melahirkan peraturan perundang-undangan pencegahan pencemaran laut khususnya di
selat malaka dan singapura. Untuk itu pemerintah Indonesia meratifikasi
beberapa konvensi seperti, Cilvil
Liability Convention 1969 dan pembentukan Dana Internasional (International Fund) 1971, masing-masing
dengan keppres No 18 dan 19, dan MARPOL 1973 dengan Keppres No 15 Tahun 1985
semuannya merupakan konvensi-konvensi IMCO dan UNCLOS 1982 dengan UU No 17
Tahun 1986[20].
Disamping
tindakan pemerintah indonesia meratifikasi konvensi-konvensi internasional
tentang pencemaran laut diatas juga mengadakan kesepakatan dengan Negara-negara
tetangga dalam ASEAN Treaty 1985 dan
persetujuan Tiga Negara di selat malaka dan selat singapura dikenal sebagai Tripartie Agreement Tentang
pencegahan dan penanggulangan pencemaran
laut di selat malaka antara Indonesia, malaysi dan singapura sejak tahun 1971
dan terakhir pada tahun 1977 dengan diterimannya kesepakatan ketiga Negara
tentang Traffic Separation Scheme
(TSS) di selat malaka oleh IMCO berdasarkan Resolusi IMCO No A. 3759X 14
november 1975[21].
IV.
ANALISI PENANGGULANGAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT
DIKAWASAN ASIA TENGGARA DALAM PRESPEKTIK HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
Kasus-kasus
pencemaran lingkungan laut yang penulis telah uraikan di Bab III diatas
merupakan masalah yang harus ditanggulangi bersama oleh Negara-negara yang
tergabung dalam organisasi ASEAN karna dampak yang di timbulkan bukan hanya
dirasakan oleh Negara yang menjadi korban pencemaran tersebut tetapi Negara-negara
yang lautnya berbatasan dengan Negara tersebut ikut terkena dampaknya seperti
kasus kandasnya showa maru dimana bukan hanya Indonesia yang merasakan dampak
dari pencemaran tersebut tapi singapura dan Malaysia juga terkena dampak dari
pencemaran tersebut, inilah sifat dari dari ciri dari lingkungan hidup yang
senantiasa terhubung secara utuh dan menyeleruh.
penanggulangan
terhadap pencemaran lingkungan laut merupakan hal yang tidak mudah seperti
membalikan telapak tangan. Dibutuhkan kordinasi dari semua Negara-negara
khusunya Negara-negara yang berada dikawasan asia tenggara untuk bekerjasama
secara regional menanggulangi dampak dari pencemaran tersebut, seperti yang
disebutkan dalam UNCLOS 1982 sebagai berikut :
Negara-negara harus bekerjasama atas
dasar global dan dimana perlu, atas dasar regional secara langsung atau melalui
organisasi-organisasi internasional yang kompoten, dalam merumuskan dan
mejelaskan ketentuan-ketentuan, standar-standar dan praktek-praktek yang
disarankan secara internasional serta prosedur-prosedur yang konsisten dengan
konvensi ini untuk tujuan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, dengan
memperhatikan cirri-ciri regional yang khas[22]
Dari
ketentuan pasal diatas dapatlah kita lihat bahwa hukum lingkungan dalam hal ini hukum lingkungan internasional
memberikan anjuran kerjasama untuk menanggulangi pencemaran lingkungan laut
baik ditingkat global maupun ditingkat regional. Ditinjau dari kerjasama
Negara-negara Asia Tenggara di tinggkat regional dimana kerjasama tersebut
dimulai di tahun 1977 ketika naskah ASEAN disiapkan mengenai program lingkungan
sub-regional (ASEP ) yang dibantu oleh UNEP (United Nations Environment Programme) untuk membicarakan masalah
lingkungan[23],
dimana prioritas dari program kerjasama dibidang lingkungan mencakup 6 (enam)
sub pembahasan yaitu:
1. Pengelolaan
Lingkungan termasuk Analisis Dampak Lingkungan (Environmental Impact Assessment)
2. Pelestarian
Alam dan ekosistem Terrestrial,
3. Industri
dan lingkungan hidup
4. Lingkungan
laut
5. Pendidikan
dan latihan lingkungan
6.
Penerangan
lingkungan hidup[24]
Terkait
dengan kerjasama Negara-negara Asia Tenggara dibidang lingkungan laut
dilaksanakan melalui tiga badan regional yaitu
1. The
coordinating Body on the seas of east timur (COBSEA)
2. The
ASEAN Experts Group on the Environment (AEGE)
3. The
working Group on marine science (WGMS)[25]
Apa yang penulis paparkan diatas
merupakan gambaran dari pada usaha-usaha Negara-negara asia tenggara untuk menanggulangi masalah pencemaran
lingkungan laut yang sifatnya lintas batas Negara. Disamping itu pula kerjasama
bilateral maupun multilateral sangat diperlukan seperti kerjasam tripartite
antara Negara Indonesia, singapura dan Malaysia dalam penanggulangan pencemaran
laut di selat malaka. Secara umum terdapat tiga faktor yang dijadikan landasan
sebagai untuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut, yaitu aspek legalitas,
aspek kelengkapan dan aspek kordinasi
a.
Aspek
Legalitas
Kalau
kira lihat dari aspek nasional Benny Hartono dengan mengutip pendapatnya
Husseyn Umar mengatakan suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak
saja memenuhi persyaratan formil sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan
rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan atau ditegakkan dalam kenyataan[26].
Undang-undang No 23 Tahun 1997 diganti dengan Undang-undang No 32 tahun 2009
Tentangan Pengelolaan lingkungan hidup mengatur jelas aspek-aspek pengelolaan
dan sanksi bagi pelaku polusi dilaut, namun fakta dilapangan terkadang aparat
yang berwenang justru bermain kotor dengan pelaku pencemaran disamping itu
sulitnya untuk mencari bukti-bukti untuk meyeret mereka kepengadilan. Dari
aspek internasional pada tahun 1945 Badan Maritim Internasional (IMO)
menghasilkan konvensi internasional mengenai pencegahan pencemaran di laut oleh
minyak kemudian kenvensi ini diperbaharui 1973 merupakan awal untuk mengatasi
dampak pencemaran laut, menjadi tugas bagi negara-negara yang tergabung dalam
IMO untuk menegakan peraturan-peraturan tersebut.
b.
Aspek
Perlengkapan
Kita
ketahui bahwa penanggulangan terhadap pencemaran minyak sangat sulit untuk
dilakukan misalnya tumpahan minyak showa maru dimana lebih dari 30 kapal
militer dan sipil ambil bagian dalam usaha menyelamatkan pantai sebelah barat
Singapore disamping itu usaha untuk penyelamatan laut dari pencemaran minyak
memerlukan biaya yang banyak. Untuk itu
diperlukan bioremediation seperti menyemprotkan nitrat dan phosphere ketumpahan
minyak untuk mempercepat kerja bakteri pengurai minyak. Dalam aspek ini yang
paling utama adalah pentingnya penguasaan prosedur dan teknik-teknik
penanggulangan tumpahan minyak oleh petugas pelaksaan lapangan harus dimiliki
oleh Negara-negara yang terkena dampak pencemaran lingkungan
c. Aspek Kordinasi
Dalam
hal penanggulangan polusi tumpahan minyak dilaut, aspek kordinasi memegang
peranan penting mengingat bahwa pencemaran laut ini merupakan pencemaran yang
bersifat lintas batas Negara sehingga perlu adanya kerjasama antara
Negara-negara khususnya Negara-negara tetangga yang pantainya saling berdekatan
harus saling bahu-membahu untuk menanggulangi pencemaran lingkungan tersebut.
Dengan demikian maka bisa teratasi pencemaran laut sampai tuntas
menjadi
kewajiban semua Negara tidak hanya Negara Asia Tenggara tetapi seluruh Negara-negara
didunia untuk menegakkan aturan-aturannya agar bisa meminimalisir dan mencegah
terjadinya pencemaran lingkungan yang lebih parah karna penyumbang terbesar
protein hewani berasal dari laut, untuk menegakkan pencemaran lingkungan
tersebut haruslah memenuhi tidak aspek yang penulis telah jelaskan diatas.
V.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan analis
diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan
1.
Perlindungan pencemaran lingkungan laut
merupakan suatu permasalahan yang bersifat lintas batas Negara sehingga
diperlukan kerjasama diantara Negara-negara dalam hal ini Negara-negara
dikawasan asia tenggara sebagaimana yang diamanatkan oleh hukum lingkungan
internasional yang terdapat dalam konvensi hukum laut 1982. Disamping itu yang
tidak kalah pentingnya adalah tiga
faktor yang dijadikan sebagai landasan untuk penanggulangan pencemaran
lingkungan laut, yaitu aspek legalitas, aspek kelengkapan dan aspek kordinasi
yang telah penulis paparkan di bab IV diatas sehingga masalah pencemaran
lingkungan bisa diatasi secara tuntas
B. Saran
Berdasarkan
kesimpulan diatas, berikut saran-saran berkenaan dengan upaya mewujudkan
perlindungan terhadap pencemaran lingkungan laut
1. Kepada
Negara-negara dikawasan Asia Tenggara hendaknya menerapkan prinsip penerapan
sistem pemberitauan secara dini terhadap kecelakaan-kecelakaan yang mengarah
kepada pencemaran lingkungan laut kepada negar-negara yang dianggap akan
terkena dampak dari pencemaran tersebut sehingga antisipasi sedini mungkin bisa
dilakukan agar pencemaran tersebut tidak meluas.
DAFTAR PUSTAKA
A.
BUKU-BUKU
Chairul
Anwar, Hukum Internasional Horizon Baru
Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982, Djambatan, Jakarta, 1989
Erman
Rajagukguk dan Ridwan Khairanddy (ed), Hukum
Lingkungan Hidup Di Indonesia, Kumpulan Karya Tulis Untuk Memperingati 75
Tahun Koesnadi Hardjaseomantri, Program Pascasarja Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 2001,
Jawahir
Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum
Internasional Kontemporer, Rafika Aditama, Bandung, 2006
Mochtar
Kusumaatmadja, Perlindungan Dan
Pelestarian Lingkungan Laut Dilihat Dari Sudut Hukum Internasional, Regional
dan Nasional, Sinar Grafika dan Pusat Studi Wawasan Nusantara, Jakarta,
1992
M.
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam
SIstem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 2001
ST.
Munadjat Danusaputro, Hukum Pencemaran
Dan Usaha Merintis Pola Pembangunan Hukum Pencemaran Nusantara, Litera, Bandung,
1978
B.
DISERTASE
Idris, Gagasan Pembentukan Mahkamah Lingkungan
Internasional Bagi Perlindungan Lingkungan Global Dalaam Prespektif Hukum
Indonesia, Disertasi. Program Pascasarjana UNPAD,2010
C.
JURNAL, MAKALAH,
DAN KOMENTASI LAINNYA
Benny
Hartono, Oil Spill ((Tumpahan Minyak) Di
Laut Dan Beberapa Kasus Di Indonesia,Bahari Jogja Vol, VIII No. 12/2008,
Suhaidi,
Perlindungan Lingkungan Laut : Upaya
Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional
Di perairan Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam
Bidang Ilmu Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara, 1 April 2006,
Sophie,
Boukhori, 1998. Marine Blues;20.000 World Under the sea;Ocean Pullution.”
Artikel UNESCO Courier
D.
SURAT KABAR DAN
INTERNET
Deputi
penginderaan jauh. Deteksi Dan Analisis Sebaran Tumpahan Minyak Di Laut Timur Menggunakan
Data Satelit Pendinderaan Jauh, Lembaga penerbangan dan antariksa nasional,
di akses di http://www.lapanrs.com/p/detail/409-Deteksi-Dan-Analisis-Sebaran-Tumpahan-Minyak-Di-Laut-Timor-Menggunakan-Data-Satelit-Penginderaan-Jauh. tanggal 10
juni 2010
[1] M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam SIstem Penegakan
Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 2001, hlm 138
[2] Idem, hlm 139
[3] Suhaidi, Perlindungan Lingkungan Laut : Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan
Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional Di perairan Indonesia, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional
Universitas Sumatera Utara, 1 April 2006, hlm 2
[4] Mochtar Kusumaatmadja, Perlindungan Dan Pelestarian Lingkungan Laut
Dilihat Dari Sudut Hukum Internasional, Regional dan Nasional, Sinar
Grafika dan Pusat Studi Wawasan Nusantara, Jakarta, 1992, hlm 3
[5] Idem, hlm 7
[6] Suhaidi, Perlindungan Lingkungan Laut Terhadap Pencemaran Dari Kapal Dan
Implikasinya Bagi Indonesia, dalam Erman Rajagukguk dan Ridwan Khairanddy
(ed), Hukum Lingkungan Hidup Di
Indonesia, Kumpulan Karya Tulis Untuk Memperingati 75 Tahun Koesnadi
Hardjaseomantri, Program Pascasarja Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2001, hlm 261
[7] Boukhori, Sophie, 1998. Marine
Blues;20.000 World Under the sea;Ocean Pullution.” Artikel UNESCO Courier, hlm 2-3 dalam suhaidi, Perlindungan Lingkugan Laut……., Ibid,
[8] Idris, Gagasan Pembentukan Mahkamah Lingkungan Internasional Bagi
Perlindungan Lingkungan Global Dalaam Prespektif Hukum Indonesia,
Disertasi. Program Pascasarjana UNPAD,2010,
hlm 9
[9] Chairul Anwar, Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut
Internasional Konvensi Hukum Laut 1982, Djambatan, Jakarta, 1989, hlm 7
[10] Jawahir Thontowi dan Pranoto
Iskandar, Hukum Internasional
Kontemporer, Rafika Aditama, Bandung, 2006, hlm 195-196
[11] ST. Munadjat Danusaputro, Hukum Pencemaran Dan Usaha Merintis Pola
Pembangunan Hukum Pencemaran Nusantara, Litera, Bandung, 1978, hlm 78
[12] M. Daud Silalahi,Op.Cit, hlm 154
[13] Pasal 1 angka (4) Konvensi Hukum
Laut 1982
[14] Benny Hartono, Oil Spill ((Tumpahan Minyak) Di Laut Dan
Beberapa Kasus Di Indonesia,Bahari Jogja Vol, VIII No. 12/2008, hlm 45
[15] Idem, hlm 46
[16] M. Daud Silalahi, Op.Cit, hlm 35
[17] ST. Munadjat Danusaputro, Op.Cit, hlm 38
[18] Deputi penginderaan jauh. Deteksi Dan
Analisis Sebaran Tumpahan Minyak Di Laut Timur Menggunakan Data Satelit
Pendinderaan Jauh, Lembaga
penerbangan dan antariksa nasional, di akses di http://www.lapanrs.com/p/detail/409-Deteksi-Dan-Analisis-Sebaran-Tumpahan-Minyak-Di-Laut-Timor-Menggunakan-Data-Satelit-Penginderaan-Jauh. tanggal 10 juni 2010
[19] ST. Munadjat Danusaputro, Op.Cit, hlm 35
[20] M. Daud Silalahi, Op.Cit, hlm 186
[21] Ibid
[22] Pasal 197 konvensi hukum laut
1982
[23] Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, hlm 59
[24] Ibid
[25] Idem,hlm 62
[26] Benny Hartono, Op.Cit, hlm 49
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Menjual berbagai macam jenis Chemical untuk cooling tower chiller dan waste water treatment untuk info lebih lanjut tentang produk ini bisa menghubungi saya di email tommy.transcal@gmail.com terima kasih
BalasHapus