Kamis, 22 September 2011

KEPENTINGAN INDONESIA UNTUK MERATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM BIDANG RUANG ANGKASA DIHUBUNGKAN DENGAN SEKTOR INDUSTRI KEDIRGANTARAAN


BAB I
PENDAHULUAN
B.  Latar Belakang
Posisi geografis Indonesia yang cukup strategis dengan diapit oleh dua benua besar Asia dan Australia dan terletak di jalur khatulistiwa dengan keadaan struktur negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau-pulau besar maupun kecil, menyebabkan sektor industri kedirgantaraan memegang peranan penting untuk mewujudkan negara kesatuan Indonesia yang berdaulat baik di laut, udara  maupun di darat. Dalam perkembangannya, upaya sektor industri  kedirgantaraan telah memasuki semua aspek kehidupan, seperti transportasi udara dan penggunaan satelit-satelit telekomunikasi, penginderaan jauh, navigasi, dan lain sebagainya.
Dengan perannya yang sangat besar dalam menangani tantangan pembangunan berkelanjutan  dan pembangunan pertahanan keamanan/militer, upaya kedirgantaraan dunia akan terus meningkat di masa datang. Hampir semua satelit yang diluncurkan dan dioperasikan telah menjadi sumber informasi untuk mendukung pengambilan keputusan (kebijakan, pengelolaan, personal) atau untuk transmisi informasi[1]. Kemajuan industri dibidang kedirgantaraan ini diharapkan dapat mendatangkan harapan cerah bagi bangsa Indonesia. Tetapi  tidak sedikit juga yang merasa cemas terhadap hasil-hasil kemajuan dibidang kedirgantaraan khusnya dibidang keantariksaan dalam hal ini kemajuan teknologi ruang angkasa yang dapat menghancurkan kehidupan dunia. Misalnya masalah penggunaan tenaga nuklir diruang angkasa, jatuhnya reruntuhan benda angkasa (space object) dan lain sebagainya, masalah ini secara otomatis akan berpengaruhi pada bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan militer, serta dibidang hukum.
 Kemajuan-kemajuan dibidang keantariksaan khususnya ruang angkasa sudah lama dinikmati oleh Negara-negara maju diantarannya Unisoviet dan Amerika Serikat[2] kedua Negara ini sudah mampu membuat berbagai jenis dan bentuk pesawat ruang angkasa serta benda-benda angkasa lainya. Misalnya hingga tahun 1985 tidak kurang dari 14.901 buah benda angkasa telah berhasil diluncurkan. Kita sebagai salah satu Negara berkembang telah menikmati kemajuan dibidang ruang angkasa ini dari tahun 1976 dimana ditandai dengan diluncurkannya satelit palapa pertama milik Indonesia,
Disamping itu kita sekarang menjadi Negara Lunching State karna adanya keinginan pihak Rusia dan Indonesia untuk melakukan kerjasama pemanfaatan biak sebagai Intermediated Based pengoperasian Air Launc Sysitem Rusia, hal ini memerlukan persiapan dan antisipasi dari aspek hukum[3]. Dari aspek hukum perjanjian internasional dibidang ruang angkasa dikeluarkan oleh komite penggunaan ruang angkasa untuk perdamaian (COPOUS) telah menghasilkan instrument hukum yang sudah berlaku semuanya. Instrument hukum yang dimaksud adalah :
1.      The 1967 Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Eksploration and Use of Outer Space (outer space Treaty)
2.      The 1968 Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of  astronauts and the Return of Object Launched into outer Space (Recue and Return Agreement)
3.      The 1972 Convention on international Liability for Damage Caused by Space Objects (Liability Convention)
4.      The 1975 Convention on Registration of Objects Launched Into Outer Space (registration Convention) [4]

Dari keempat konvensi tersebut yang menjadi jus cogen adalah perjanjian outer Space Treaty 1967 yang mana indonesia sebelum tahun 2002 bukan merupakan Negara pihak dari perjanjian ini padahal kita ketahui sejak tahun 1976 indonesia sudah merupakan Negara peluncur artinya selama 26 tahun Negara kita tidak bisa memakai badan atau lembaga dibawah perserikatan bangsa-bangsa untuk menyelesaikan kasus apabila timbul sengketa antara indonesia dengan Negara lain.  Disamping itu kita tidak bisa menjadikan space treaty sebagai dasar gugatan apabila kita dirugikan oleh Negara lain dalam hal eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa.
Berdasarkan persoalan diatas maka penulis tertarik untuk menganalisis lebih jauh lagi mengenai persoalan ini sehingga penulis tuangkan dalam sebuah makalah dengan judul “Kepentingan Indonesia Untuk Meratifikasi Perjanjian Internasional Dalam Bidang Ruang Angkasa Dihubungkan Dengan Sektor Industri Kedirgantaraan”

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang penulis telah paparkan diatas maka penulis akan menganalisis dua permasalahan pokok dalam makalah ini yaitu :
A.    Bagaimana keterkaitan Hukum internasional dalam hal ini perjanjian internasional dan Hukum Ruang Angkasa.?
B.     Sejauh mana kepentingan Indonesia untuk diratifikasinya perjanjian dibidang ruang angkasa bagi sektor industri kedirgantaraan ?


BAB II
ANALISIS

A.    Keterkaitan Hukum internasional dalam hal ini perjanjian internasional dan Hukum Ruang Angkasa
Persoalan-persoalan baru hukum internasional tercipta oleh aktivitas-aktivitas Negara yang intensif diruang angkasa, oleh adannya kemajuan-kemajuan yang spektakuler dalam teknologi ruang angkasa, bidang navigasi aeronetika dan dalam bidang ekplorasi planet baik yang berawak maupun yang tak berawak[5]. Sehingga diharuskan negara-negara yang ingin berpartisipasi dalam kegiatan ruang angkasa untuk menjadi Negara peserta  pada perjanjian-perjanjian tentang ruang angkasa. Kalau kita lihat keterikatan Negara dalam perjanjian internasional dalam konvensi wina 1969 Tentang hukum perjanjian. Termuat dalam pasal 11 konvensi wina yang menyatakan bahwa :
The consent of a state to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance,approval or accession, or by any other means if so agreed”

Dari ketentuan diatas maka kita dapat menyimpulkan bahwa keikut sertaan Negara dalam suatu perjanjian internasional harus ditentukan dengan beberapa cara yaitu :
a.       Penandatanganan
b.      Pertukaran instrument yang membentuk suatu perjanjian
c.       Ratifikasi
d.      Penerimaan
e.       Peryataan ikut serta
f.       Penerimaan
g.      Peryataan ikut serta
h.      Cara-cara lain yang disetujui oleh pihak
Dari ketujuh cara diatas, tergantung cara yang mana keterikatan Negara dalam perjanjian tersebut biasannya ditentukan oleh isi dari perjanjian itu sendiri. Terkait dengan hukum ruang angkasa yang merumuskan beberapa kaidah dalam bentuk beberapa konvensi yang mengharuskan ratifikasi dan aksesi salah satu contoh yang dapat kita  ambil misalnya konvensi space treaty 1967 pasal XIV ayat 2 menyebutkan sebagai berikut :
This Treaty shall be subject to ratification by signatory States. Instruments of ratification and instruments of accession shall be deposited with the Governments of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, the Union of Soviet Socialist Republics and the United States of America, which are hereby designated the Depositary Government

Dari pasal diatas jelaslah bahwa Negara untuk terikat dalam perjanjian internasional tentang ruang angkasa harus melakukan ratifikasi bagi Negara yang ikut membuat perjanjian tersebut dan aksesi bagi Negara yang tidak ikut membuat perjanjian tersebut. Aturan lebih lanjut mengenai ratifikasi dan aksesi dapat kita lihat dalam konvensi wina 1969 dimana suatu Negara menyatakan persetujuannya untuk di ikat oleh perjanjian internasional melalui cara ratifikasi yaitu :
a.       Perjanjian menentukan bagi persetujuan demikian dinyatakan dengan ratifikasi
b.      Ditentukan sebaliknya bahwa Negara-negara yang turut berunding menyetujui bahwa ratifikasi diperlukan
c.       Utusan dari Negara untuk menandatangani perjanjian yang berlaku hanya kalau sudah diratifikasi
d.      Maksud dari Negara untuk menandatangani perjanjian yang berlaku kalau sudah diratifikasi dinyatakan oleh kuasa penuh atau utusannya atau dinyatakan selama perundingan berlaku[6]
Sedangkan aksesi bagi Negara yang tidak ikut membuat perjanjian apabila :
a.       Perjanjian menentukan bagi persetujuan demikian dinyatakan dengan aksesi
b.      Negara-negara yang turut berunding menyetujui bahwa persetujuan dan Negara demikian dengan aksesi
c.       Semua pihak sesudah itu menyetujui bahwa persetujuan dari Negara demikian dapat dinyatakan dengan aksesi[7]
Indonesia dalam kaitanya dengan 4 konvensi mengenai ruang angkasa merupakan Negara penandatangan artinya bahwa Indonesia untuk menyatakan keterikatannya harus meratifikasi ke empat konvensi tersebut sesuai dengan prosedur ratifikasi yang diatur oleh hukum Indonesia. Sekarang prosedur pembuatan perjanjian internasional diatur oleh undang-undang No 20 Tahun 2000 Tentang Hukum Perjanjian Internasional.

B.     Kepentingan Indonesia untuk diratifikasinya perjanjian dibidang ruang angkasa Bagi Sektor Industri Kedirgantaraan

Dalam bab ini penulis akan menguraikan sejauh mana kepentingan Indonesia untuk meratifikasi perjanjian ruang angkasa bagi sektor industri kedirgantaraan. Perkembangan pesat dialami oleh industri kedirgantaraan saat ini dimana Indonesia dan rusia menandatangi perjanjian kersama untuk penggunaan biak sebagai Intermediated Based pengoperasian Air Launc Sysitem Rusia, artinya bahwa Indonesia saat ini sudah termasuk sebagai lunching State maka dari itu diperlukan perangkat hukum yang kuat baik nasional maupun internasional.
Dengan dilakukannya kersama Indonesia dengan rusia memberikan harapan yang cerah bagi Indonesia karna akan menciptakan lapangan kerja yang baru, tapi disisi lain merugikan bangsa Indonesia misalnya rusaknya ekosistem disekitar peluncuran ditambah lagi misalnya jatuhnya benda-benda angkasa (space objek) dan lain sebagainya. untuk itu penting bagi kita untuk meratifikasi perjanjian-perjanjian dibidang ruang angkasa sebagai landasan hukum bagi bangsa kita jika terjadi sengketa disamping itu sebagai dasar gugatan kita apabilan nantinya kita dirugikan oleh Negara lain. Sampai dengan tahun 2002 indonesia telah meratifikasi 4 perjanjian keantarikasaan yaitu :
1.      Rescu Agreement 1968, melalui keputusan presiden No 4 Tahun 1999, Tanggal 8 Januari 1999
2.      Convention 1972, melalui keputusan presiden No 20 Tahun 1996, Tanggal 27 februari 1996
3.      registration Convention 1975, melalui keputusan presiden No 5 Tahun 1997, Tanggal 12 maret 1997
4.      Space Treaty 1967, melalui disahkan dengan undang-undang No 16 Tahun 2002[8]
Sehingga jika Indonesia tidak melakukan ratifikasi perjanjian dibidang ruang angkasa tersebut maka Indonesia tidak bisa berperkara disalah satu badan PBB dalam hal perkara-perkara yang diatur oleh perjanjian-perjanjian tersebut. Untuk itu penulis menyimpulkan manfaat secara umum yang kita peroleh dengan melakukan ratifikasi perjanjian-perjanjian tersebut adalah
1.      Jika nanti kita dirugikan oleh Negara lain dalam hal eksplorasi dan eksploitasi penggunaan ruang angkasa maka salah satu perjanjian ini kita bisa jadikan sebagai dasar hukum
2.      Kita dapat mengajukan perkara-perkara mengenai eksplorasi dan pengunaan ruang angkasa ke salah satu badan PBB yang di tunjuk untuk menyelesaikan perkara tersebut karna kita sudah merupakan Negara yang peserta perjanjian-perjanjian tentang ruang angkasa tersebut.
3.      Dapat menarik simpati Negara-negara lain terhadap Indonesia di forum internasional, bukan saja perjuangan Indonesia dibidang keantariksaan tetapi juga dalam bidang-bidang lain
Kirannya ketiga manfaat tersebut sangat relevan dengan Negara Indonesia yang merupakan salah satu Negara peluncur (launching state), disamping itu dengan adanya kerjasama Indonesia dengan rusia maka memberikan landasan hukum bagi bangsa kita jika kita dirugikan oleh pihak rusia. Disamping perjanjian-perjanjian ruang angkasa yang telah diratifikasi tersebut Indonesia juga memiliki peraturan perundang-undangan dibidang penerbangan yaitu :
1.      Undang-undang No 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan sekarang diganti dengan  No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
2.      Undang-undang No 2 Tahun 1972 Tentang Pengesahan konvensi Tokyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar