Minggu, 09 Desember 2012

Hukum Pencemaran Lingkungan



Kajian Terhadap Prinsip-Prinsip Pengelolaan Hutan Tropis Indonesia, Dilihat Dari Konvensi Kerangka Perubahan Iklim 1992 Dan Kyto Protokol Sebagai Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Global


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sumber daya hutan merupakan salah satu ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa yang memiliki peranan yang penting dalam menjaga keseimbangan alam di jagad raya ini[1]. Selain itu merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup dan kesejahtraan manusia, termasuk mahluk hidup lainya. Keterkaitan yang erat antara manusia dengan lingkungan hidup termasuk didalamnya hutan, disebabkan karena manusia bukanlah satu-satunya unsur dalam sistem kehidupan.
Berdasarkan konsep-konsep ekologi, di samping manusia ada unsur lain yakni lingkungan (termasuk di dalamnya hutan) yang merupakan salah satu kesatuan yang membentuk ekosistem besar (planet bumi) sebagai sistem pendukung kehidupan (life supporting system)[2]. Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang mempunyai hutan tropis terluas di dunia dan menduduki peringkat pertama di Asia Pasifik. Luas hutan hujan tropis Indonesia diperkirakan seluas 1,148,400-an kilometer persegi yang mempunyai kekayaan hayati yang begitu besar, mulai dari tambang, flora dan faunanya. Khusus dari hasil hutannya, hutan tropis Indonesia mempunyai kurang lebih 400 spesies dipterocarp yang merupakan jenis kayu komersial paling berharga di Asia Tenggara[3].
 Melihat potensi yang begitu besar dari hasil hutan Indonesia, tidak salah apabila pemerintah menjadikan sektor kehutanan menjadi salah satu sumber devisa negara yang utama untuk menunjang pertumbuhan ekonomi bangsa. Tetapi dalam prakteknya, dorongan untuk melakukan pertumbuhan ekonomi secara signifikan dengan memanfaatkan potensi hutan tidak diimbangi dengan upaya pemeliharaan lingkungan yang berkelanjutan.  Terjadilah eksploitasi besar-besaran terhadap potensi hutan Indonesia. Hingga saat ini diperkirakan terhadap kerusakan lahan hutan Indonesia telah mencapai 56,98 juta Ha[4] daro 120,35 juta Ha luas hutan yang ada[5].
Kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh kebakaran hutan, perubahan tata guna lahan, antara lain perubahan hutan menjadi perkebunan dengan tanaman tunggal secara besar-besaran, misalnya perkebunan kelapa sawit, serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Dengan kerusakan seperti tersebut diatas, tentu saja proses penyerapan karbondioksida tidak dapat optimal.  Hal ini akan mempercepat terjadinya pemanasan global[6]. Salah satu dampak dari pemanasan global adalah  Pergeseran musim sebagai akibat dari adanya perubahan pola curah hujan.  Perubahan iklim mengakibatkan intensitas hujan yang tinggi pada periode yang singkat serta musim kemarau yang panjang. Di beberapa tempat terjadi peningkatan curah hujan sehingga meningkatkan peluang terjadinya banjir dan tanah longsor, sementara di tempat lain terjadi penurunan curah hujan yang berpotensi menimbulkan kekeringan[7].
Fenomena diatas menggambarkan bahwa pola kebijakan pembangunan yang hanya berorientasi ekonomi pada pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan, akan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang merugikan manusia pada akhirnya[8].  Dunia internasional mengakui dan telah membuktikan bahwa sumber daya hutan diindonesia yang tergolong dalam wilayah tropis adalah masih murni dan sangat potensial ditinjau dari berbagai sudut[9].
Oleh karena itu terdapat tanggung jawab yang besar bagi bangsa Indonesia untuk mengelola dan memelihara kelestariannya melalui prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan global, yang secara konseptual telah di perkenalkan di dalam Framework Convention on Climate Change 1992 (kerangka konvensi perubahan iklim) dan pada saat yang sama sesuai dengan ketentuan  Protokol Kyto 1997 sebagai pelaksanaan dari konvensi perubahan iklim, Negara-negara berkembang dapat berpartisipasi secara sukarela guna membantu negara-negara maju dalam menurunkan emisi karbonnya dari udara melalui kegiatan mekanisme pembangunan bersih (clean Development Mechanism)[10].
Berdasarkan berbagai persoalan sebagaimanan yang telah dipaparkan diatas, menarik perhatian penulis untuk mengkaji dan mengupas persoalan ini secara lebih mendalam yang kemudian penulis tuangkan dalam sebuah makalah dengan judul “Kajian Terhadap Prinsip-Prinsip Pengelolaan Hutan Tropis Indonesia, Dilihat Dari Konvensi Kerangka Perubahan Iklim 1992 Dan Kyto Protokol Sebagai Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Global”

B.       Permasalahan
Berdasarkan pada uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan beberapa masalah pokok yang akan diteliti, yaitu :
1.      Bagaimanakah kebijakan prinsip-prinsip pengelolaan hutan tropis di Indonesia dilihat dari Konvensi kerangka Perubahan Iklim dan Kyto Protokol dan implikasinya pada stabilitas iklim global?
2.      Bagaimanakah Bentuk Tanggug Jawab Negara Berkembang Terkait kerusakan lingkungan agar prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan global bisa terwujud ?

 
BAB II
PEMBAHASAN


A.      Kebijakan prinsip-prinsip pengelolaan hutan tropis di Indonesia dilihat dari Konvensi kerangka Perubahan Iklim dan Kyto Protokol dan implikasinya pada stabilitas iklim global  

Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan bangsa dan Negara. Hal ini disebabkan hutan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahtraan rakyat[11]. Namun hal tersebut hanyalah angan-angan sejarah tiga dasa warsa pengelolaan hutan tropis adalah sebuah potret “chaos” pembangunan kehutanan Indonesia. Kegagalan tersebut dicerminkan oleh maraknya berbagai persoalan yang kini telah meledak sebagai sebuah krisis kehutanan yang bersifat multi dimensi.
Konflik lahan antar stakeholder di kawasan hutan seperti yang terjadi dilampung, bencana kebakaran hutan, deforestasi yang berdampak pada erosi dan sedimentasi, perambahan dan pencurian kayu (illegal logging), dan dehumanisasi masyarakat setempat, merupakan beberapa persoalan kritis yang sampai hari ini belum terselesaikan. Kelestarian hutan dan kelangsungan hidup masyarakatnya saat ini menjadi suatu wacana yang sangat langka bahkan cenderung hilang bersama perubahan ekologi hutan dan sosial budaya masyarakat.
Krisis kehutanan pada dasarnya terjadi karena kesalahan budaya yang tercermin dari cara pandang, norma yang dianut, dan perilaku para pengelola hutan dalam menerapkan kebijakan pembangunan kehutanan yang hanya berorientasi ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dalam hal ini hutan, akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang merugikan manusia, seperti bencana banjir, erosi dan pemanasan global.  Paradigma pembangunan seperti itu tidak dapat dipertahankan lagi, dan harus diubah karena yang demikian itu tidak saja memberikan keuntungan ekonomi, tetapi juga akan menimbulkan perubahan-perubahan terhadap lingkungan fisik dan social budaya yang memerlukan pengamanan secukupnya agar tidak merugikan dalam jangka panjang[12].
Menurut Daud silalahi mengatakan bahwa konsep pembangunan yang dilaksanakan sekarang tidak cukup hanya mempertimbangkan perbandingan biaya keuntungan, (cost-benefit ratio) saja, atau mekanisme pasar saja, tetapi juga memperhitungkan ongkos-ongkos social yang timbul (social cost). Misalnya pengusaha masih menganggap lingkungan sebagai benda bebas yang dapat digunakan sepenuhnya untuk memperoleh laba yang sebesar-besarnya dalam waktu yang relative singkat. Akan tetapi masyarakat sebagai keseluruhan akan melihat lingkungan sebagai bagian dari kekayaan nyata yang tidak dapat lagi diperlakukan sebagai benda bebas[13].
Menelusuri  pendapat diatas memberikan pemahaman kepada kita bahwa selama ini pemerintah hanya mengutamakan fungsi fisik[14] dari hutan itu saja, mengabaikan sifat dan fungsi hutan tidak langsung[15], sehingga yang kita lihat terjadi adalah kerusakan fungsi hutan secara fisik yang berdampak pada fungsi hutan tidak langsung[16]. Yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang kita rasakan saat ini. Apa yang terjadi pada tingkat nasional sesungguhnya demikian juga keadaannya pada tingka internasional terutama di Negara-negara maju.
Perubahan-perubahan iklim akibat pemanasan global, disebabkan oleh pesatnya kemajuan dan pemanfaatan teknologi oleh Negara-negara maju yang merupakan tulang perekonomian dan telah membawa mereka kepada kemajuan dan kemakmuran, digerakan oleh energi yang menggunakan bahan bakar minyak dan gas bumi serta batu bara yang kemudian menghasilkan gas emisi karbon. Konsumsi energi yang boros oleh industri Negara-negara maju, telah menyebabkan terjadinya pemanasan bumi pada tingkat yang mencemaskan.
Untuk mengatasi fenomena pemanasan global tersebut, maka masyarakat internasional mengambil langkah-langkah penting dalam bidang hukum, yaitu dengan diadakanya KTT Bumi di Brazil yang dihadiri oleh utusan-utasan dari 165 negara pada tahun 1992[17]. KTT tersebut meletakkan kerangka dasar bagi upaya penanggulangan masalah pemanasan global, melalui kesepakatan perubahan iklim atau Framework Conventon on Climate Change (Konvensi Perubahan Iklim). Konvesi ini dimaksudkan untuk mengurangi pola produksi dan konsumsi boros terhadap penggunaan energi oleh Negara maju, yang telah terbukti meningkatkan konsentrasi gas emisi karbon yang berdampak pada perubahan iklim[18].
Berhubung konvensi perubahan iklim sifatnya sebagai Fremework Convention, maka untuk implementasi diperlukan adanya suatu ketentuan tambahan untuk menjalankannya sebagai regulatory measures[19]. Oleh karena itu konvensi perubahan iklim memerlukan ketentuan tambahan yang disebut protokol[20]. Setidaknya ada dua prinsip hukum yang dianut dalam konvensi perubahan iklim dalam hal pengelolaan hutan yakni common but differentiated responsibilities[21] dan precautionary principle[22].
Kemudian lahirlah kesepakatan protocol Kyto 1997 sebagai implementasi dari konvensi perubahan iklim. Dalam Protokol Kyto disebutkan bahwa Negara-negara Annex I dari konvensi perubahan iklim yaitu sejumlah Negara-negara maju, akan mengurango emisi gas rumah kacanya minimal sebesar 5% dibawah emisi tahun 1990. Protocol Kyto hanya membebani kewajiban penurunan jumlah konsentrasi emisi karbon kepada Negara maju, sementara untuk Negara yang sedang berkembang sesuai dengan kontribusinya yang sangat kecil dalam buangan emisi karbonnya, belum dibebani kewajiban.  Namun demikian Negara sedang berkembang dapat mengambil peran dalam upaya penanggulangan pemanasan global, melalui kegiatan pelaksanaan pembangunan yang dapat mereduksi emisi gas karbon.
Keikut sertaan Negara-negara berkembang terutama Negara-negara pemilik hutan tropis seperti Indonesia untuk mengatasi pemanasan global meskipun tidak dibebani kewajiban, adalah didasarkan pada prinsip konvensi perubahan iklim yang penulis sebutkan diatas yaitu (common but differentianed responsibility) yang menurut Daud Silalahi bahwa setiap pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama, namun secara khusus harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya[23].

B.  Bentuk Tanggug Jawab Negara Berkembang Terkait kerusakan lingkungan hutan tropis yang mengakibatkan perubahan iklim sehingga prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan global bisa terwujud.
Rusaknya hutan tropis tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di negara-negara tropis lainnya yang umumnya adalah negara berkembang dan miskin.
Lebih dari satu juta hektar hutan yang sebagian besar merupakan  hutan tropis hancur setiap bulannya di dunia – setara dengan area hutan seluas satu lapangan sepak bola hancur setiap dua detik[24]. Selain menyokong keanekaragaman hayati dan masyarakat yang bergantung pada hutan, hutan dan tanahnya menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar – hampir tiga ratus milyar ton karbon atau sekitar 40 kali jumlah emisi yang dilepaskan ke atmosfir.  Penghancuran dan degradasi hutan berpengaruh besar terhadap perubahan iklim dalam dua hal. Pertama, perambahan dan pembakaran hutan melepaskan karbon dioksida ke atmosfir. Kedua,kerusakan hutan akan mengurangi area hutan yang menyerap karbon dioksida. Kedua peran ini sangat penting karena jika kita menghancurkan hutan tropis yang tersisa, maka kita telah kalah dalam pertarungan menghadapi perubahan iklim.
Indonesia adalah contoh nyata perlunya rencana matang yang didukung dengan dana bantuan internasional untuk melindungi hutan tropis. Menurut data terakhir, laju deforestasi di Indonesia adalah laju deforestasi tercepat di dunia.Hal ini menempatkan Indonesia menjadi negara ketiga terbesar penghasil gas rumah kaca setelah Amerika Serikat dan Cina[25]. Kerusakan  hutan tidak semata-mata menjadi tanggung jawab negara-negara yang bersangkutan, tetapi masyarakat negara industri yang memerlukan bahan baku yang tersedia di hutan, juga harus ikut bertanggung jawab. Dalam hal ini Negara-negara maju telah memberikan kontribusi yang sangat besar pada kerusakan hutan. Oleh karena itu, mereka mempunyai tanggung jawab yang lebih besar pula bagi usaha-usaha perlindungan hutan.
Tanggung jawab bersama yang berbeda bobotnya (common but differentiated responsibility) merupakan salah satu prinsip hukum internasional yang bertujuan memberikan perlindungan terhadap lingkungan global dari aktivitas kegiatan manusia. Untuk itu pertama kalinya, prinsip tersebut diperkenalkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi tentang dan pembangunan di Rio de janeiro 1992.
Perwujudan terhadap pelaksanaan tanggung jawab Negara tersebut (common but differentiated responsibilities), selanjutnya dituangkan dalam konvensi perubahan iklim (framework convention on climate change) 1992, pasal 3 (1) menegaskan
the parties should protect the climate system for the benefit of present and future generations of humankind, on the basis of equity and in accordance with their common but differentiated responsibility and respective capabilities, accordingly, the developed country parties, should take the lead in combating climate change and the adverse effects thereof (para pihak wajib melindungi sistem iklim untuk umat manusia saat ini dan akan dating berdasarkan pada prinsip persamaan dan susuai dengan kesamaan tetapi tanggung jawab berbeda-beda dan kemampuna untuk menghormati, berdasarkan itu, maka Negara-negara berkembang harus mengambil tindakan untuk memerangi dampak buruk dari perubahan iklim)
jadi setiap Negara baik Negara maju maupun Negara-negara berkembang, berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah bagi tercapainya kestabilan konsentrasi gas rumah kaca di admosfer pada tingkat yang tidak membahayakan, namun kewajiban tersebut mempunyai bobot yang berbeda, dan lebih besar ditanggung oleh Negara maju. Besarnya tanggung jawab Negara-negara maju adalah sesuai dengan konstribusinya terhadap pemanasan global. Hanya dengan demikian, upaya pemulihan dan pelestarian lingkungan dengan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan global dapat diwujudkan dengan baik.
Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu prinsip hukum internasional yang sangat mendasar berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam (lingkungan hidup). Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) untuk pertama kalinya diperkenalkan pada tahun 1987 oleh komisi dunia tentang lingkungan dan pembangunan (world Commision on Environment and development). Dalam laporannya, komisi tersebut menjelaskan bahwa perlu adanya usulan agenda perubahan global yang mencakup strategi lingkungan jangka panjang untuk mencapai pembangunan berkelanjutan mulai tahun 2000 dan mengidentifikasi hubungan antar manusia, sumber daya lingkungan dan pembangunan sehingga dapat diintegrasikan kedalam kebijakan nasional dan internasional[26].


 
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari pembahasan  yang telah penulis paparkan diatas maka ditarik beberapa kesimpulan diantarannya sebagai berikut :
1.        Paradigma pemerintah dalam pengelolaan hutan berdasarkan aspek ekonomi semata, harus ditinggalkan karena dapat merusak lingkungan yang akhirnya mengakibatkan perubahan iklim global yang dampaknya akan menyengsarakan umat manusia.
2.        Bentuk tanggung jawab Negara berkembang terutama pemilik hutan tropis seperti Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim adalah bersifat Common but Differentiated, dimana setiap pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama, namun secara khusus harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya. Meskipun Negara berkembang tidak diwajibkan untuk menurunkan emisi karbonnya  berdasarkan Protokol Kyto, namun harus tetapi bertanggung jawab untuk berpastisipasi berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.






DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan Dan Pembangunan Bidang Kehutanan, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 1992


Danial Murdiyanto, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Kompas, Jakarta, 2003

Rahmat Bowo Suharto, Perlindungan Hak Dunia Ketiga Atas Sumber Daya Alam, Tiara Wacana, Yogjakarta, 2001

Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2002,

Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunana Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010


Disertasi
Sulbadana Strategi Pelestarian Hutan Berdasarkan Konsep Mekanisme pembangunan Bersih Untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan Dalam Perspektif Hukum Lingkungan Internasional, Disertasi, Unpad, 2010,

Jurnal Hukum
Sukandi Husin, Hukum Internasional Tentang Perubahan Iklim Didunia, Jurnal Hukum Internasional, Unpad, Vol. I/I/2002

Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang berbasis pembangunan social dan ekonomi, makalah pada seminar pembangunan hukum nasional di bali, Juli 2003

Daud Silalahi, Lingkugan sebagai Subjek Hukum dan Kewenangan LSM Lingkungan  Hukum dan Pembangunan, No, 4, Agustus 1989

Food and Agriculture Organisation of the United Nations (FAO 2005), Global Forest  Resources Assessment 2005 (FAO, Rome, Italy).


Surat Kabar dan Situs Internet
Konservasi hutan dan pengurangan Utang, Harian Kompas, 19 Januari 2002 Hutan

Terkikis Industri Kehutanan pun Terpangkas, Harian Kompas, 20 September 2003

Atep Afia Hidayat,  Rio Dan KTT Bumi 1992, di akses http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/03/31/rio-dan-ktt-bumi-1992/

Diakses di http://www.mediaindonesia.com, 21 November 2011. Lihat juga Intip, edisi II-05/Agustus-September 2005


FAO 2005. Global Forest Resources Assessment (FRA) 2005. Diakses http://www.fao.org/forestry/site/fra2005/en





[1]Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunana Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 1
[2]Daud Silalahi, Lingkugan sebagai Subjek Hukum dan Kewenangan LSM Lingkungan , Hukum dan Pembangunan, No, 4, Agustus 1989, hlm 451
[3]Diakses di http://www.mediaindonesia.com, 21 November 2011. Lihat juga Intip, edisi II-05/Agustus-September 2005
[4] Konservasi hutan dan pengurangan Utang, Harian Kompas, 19 Januari 2002
[5] Hutan Terkikis Industri Kehutanan pun Terpangkas, Harian Kompas, 20 September 2003
[7] Ibid
[8]Sulbadana Strategi Pelestarian Hutan Berdasarkan Konsep Mekanisme pembangunan Bersih Untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan Dalam Perspektif Hukum Lingkungan Internasional, Disertasi, Unpad, 2010, hlm 3
[9] Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan Dan Pembangunan Bidang Kehutanan, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 4
[10]Danial Murdiyanto, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Kompas, Jakarta, 2003, hlm 1
[11] Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm 46
[12] Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm 16
[13] Idem, hlm 17
[14]Hariadi Kartodihardjo mengatakan bahwa Fungsi hutan secara fisik dapat ditentukan batas-batasannya secara eksklusif yang kemudian dapat dibagi-bagi luasnya dan dapat dialihkan hak penguasaannya kepada pihak lain. Pihak yang menerima hak dapat memanfaatkan hutan seperti kayu, rotan, getah dan lain-lain. 
[15]Manfaat hutan tidak langsung seperti pengendalian erosi, penjagaan kesuburan tanah, penyerap karbon, dan lain-lain akan terus berlangsung tanpa dapat dikendalikan oleh kebijakan pengelolaan hutan
[16] Supriadi, Op. Cit, hlm 114
[17]Atep Afia Hidayat,  Rio Dan KTT Bumi 1992, di akses http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/03/31/rio-dan-ktt-bumi-1992/
[18] Rahmat Bowo Suharto, Perlindungan Hak Dunia Ketiga Atas Sumber Daya Alam, Tiara Wacana, Yogjakarta, 2001, hlm 90
[19] Sukandi Husin, Hukum Internasional Tentang Perubahan Iklim Didunia, Jurnal Hukum Internasional, Unpad, Vol. I/I/2002, hlm 58
[20] Lihat Pasal 7 (2) dan Pasal 17 (1) konvensi Perubahan Iklim, 1992
[21] Lihat pasal 3 ayat (1) yaitu “the parties should protect the climate system for the benefit of present and future generations of humankind, on the basis of equity and in accordance with their common but differentiated responsibility and respective capabilities, accordingly, the developed country parties, should take the lead in combating climate change and the adverse effects thereof”
[22] Lihat pasal the parties should take precautionary measures to anticipate, prevent or minimize the cause of climate change and mitigate its adverse effects, where there are thereats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty should not be used as a reason for postponing such measures, taking into account that policies and measures to deal with climate change should be cost-effective so as to ensure global benefit at lowest possible cost
[23] Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang berbasis pembangunan social dan ekonomi, makalah pada seminar pembangunan hukum nasional di bali, Juli 2003
[24] Food and Agriculture Organisation of the United Nations (FAO 2005), Global Forest Resources Assessment 2005 (FAO, Rome, Italy).
[25]FAO 2005. Global Forest Resources Assessment (FRA) 2005. Diakses http://www.fao.org/forestry/site/fra2005/en
[26] Sulbadana, Op. Cit, hlm 73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar