Kajian Terhadap Prinsip-Prinsip Pengelolaan Hutan Tropis Indonesia,
Dilihat Dari Konvensi Kerangka Perubahan Iklim 1992 Dan Kyto Protokol Sebagai
Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Global
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sumber
daya hutan merupakan salah satu ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa yang memiliki
peranan yang penting dalam menjaga keseimbangan alam di jagad raya ini[1].
Selain itu merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting artinya
bagi kelangsungan hidup dan kesejahtraan manusia, termasuk mahluk hidup lainya.
Keterkaitan yang erat antara manusia dengan lingkungan hidup termasuk
didalamnya hutan, disebabkan karena manusia bukanlah satu-satunya unsur dalam
sistem kehidupan.
Berdasarkan
konsep-konsep ekologi, di samping manusia ada unsur lain yakni lingkungan
(termasuk di dalamnya hutan) yang merupakan salah satu kesatuan yang membentuk
ekosistem besar (planet bumi) sebagai sistem pendukung kehidupan (life supporting system)[2]. Indonesia
merupakan negara terbesar ketiga yang mempunyai hutan tropis terluas di dunia
dan menduduki peringkat pertama di Asia Pasifik. Luas hutan hujan tropis
Indonesia diperkirakan seluas 1,148,400-an kilometer persegi yang mempunyai
kekayaan hayati yang begitu besar, mulai dari tambang, flora dan faunanya.
Khusus dari hasil hutannya, hutan tropis Indonesia mempunyai kurang lebih 400
spesies dipterocarp yang merupakan jenis kayu komersial paling berharga di Asia
Tenggara[3].
Melihat potensi yang begitu besar dari hasil
hutan Indonesia, tidak salah apabila pemerintah menjadikan sektor kehutanan
menjadi salah satu sumber devisa negara yang utama untuk menunjang pertumbuhan
ekonomi bangsa. Tetapi dalam prakteknya, dorongan untuk melakukan pertumbuhan
ekonomi secara signifikan dengan memanfaatkan potensi hutan tidak diimbangi
dengan upaya pemeliharaan lingkungan yang berkelanjutan. Terjadilah eksploitasi
besar-besaran terhadap potensi hutan Indonesia. Hingga saat ini diperkirakan
terhadap kerusakan lahan hutan Indonesia telah mencapai 56,98 juta Ha[4]
daro 120,35 juta Ha luas hutan yang ada[5].
Kerusakan hutan
tersebut disebabkan oleh kebakaran hutan, perubahan tata guna lahan, antara
lain perubahan hutan menjadi perkebunan dengan tanaman tunggal secara
besar-besaran, misalnya perkebunan kelapa sawit, serta kerusakan-kerusakan yang
ditimbulkan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman
Industri (HTI). Dengan kerusakan seperti tersebut diatas, tentu saja proses
penyerapan karbondioksida tidak dapat optimal. Hal ini akan mempercepat
terjadinya pemanasan global[6]. Salah
satu dampak dari pemanasan global adalah
Pergeseran musim sebagai akibat dari adanya perubahan pola curah
hujan. Perubahan iklim mengakibatkan intensitas hujan yang tinggi pada
periode yang singkat serta musim kemarau yang panjang. Di beberapa tempat
terjadi peningkatan curah hujan sehingga meningkatkan peluang terjadinya banjir
dan tanah longsor, sementara di tempat lain terjadi penurunan curah hujan yang
berpotensi menimbulkan kekeringan[7].
Fenomena diatas
menggambarkan bahwa pola kebijakan pembangunan yang hanya berorientasi ekonomi
pada pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan, akan menimbulkan dampak
kerusakan lingkungan yang merugikan manusia pada akhirnya[8]. Dunia internasional mengakui dan telah membuktikan bahwa
sumber daya hutan diindonesia yang tergolong dalam wilayah tropis adalah masih
murni dan sangat potensial ditinjau dari berbagai sudut[9].
Oleh karena itu terdapat tanggung jawab yang besar bagi
bangsa Indonesia untuk mengelola dan memelihara kelestariannya melalui
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan global, yang secara konseptual telah
di perkenalkan di dalam Framework
Convention on Climate Change 1992 (kerangka konvensi perubahan iklim) dan pada
saat yang sama sesuai dengan ketentuan Protokol Kyto 1997 sebagai pelaksanaan dari
konvensi perubahan iklim, Negara-negara berkembang dapat berpartisipasi secara
sukarela guna membantu negara-negara maju dalam menurunkan emisi karbonnya dari
udara melalui kegiatan mekanisme pembangunan bersih (clean Development Mechanism)[10].
Berdasarkan berbagai
persoalan sebagaimanan yang telah dipaparkan diatas, menarik perhatian penulis
untuk mengkaji dan mengupas persoalan ini secara lebih mendalam yang kemudian
penulis tuangkan dalam sebuah makalah dengan judul “Kajian Terhadap Prinsip-Prinsip Pengelolaan Hutan Tropis Indonesia,
Dilihat Dari Konvensi Kerangka Perubahan Iklim 1992 Dan Kyto Protokol Sebagai
Pelaksanaan Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Global”
B.
Permasalahan
Berdasarkan
pada uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan
beberapa masalah pokok yang akan diteliti, yaitu :
1. Bagaimanakah
kebijakan prinsip-prinsip pengelolaan hutan tropis di Indonesia dilihat dari
Konvensi kerangka Perubahan Iklim dan Kyto Protokol dan implikasinya pada
stabilitas iklim global?
2. Bagaimanakah
Bentuk Tanggug Jawab Negara Berkembang Terkait kerusakan lingkungan agar
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan global bisa terwujud ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kebijakan
prinsip-prinsip pengelolaan hutan tropis di Indonesia dilihat dari Konvensi
kerangka Perubahan Iklim dan Kyto Protokol dan implikasinya pada stabilitas
iklim global
Hutan
mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan
bangsa dan Negara. Hal ini disebabkan hutan dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahtraan rakyat[11].
Namun hal tersebut hanyalah angan-angan sejarah tiga dasa warsa pengelolaan
hutan tropis adalah sebuah potret “chaos” pembangunan kehutanan
Indonesia. Kegagalan tersebut dicerminkan oleh maraknya berbagai persoalan yang
kini telah meledak sebagai sebuah krisis kehutanan yang bersifat multi dimensi.
Konflik
lahan antar stakeholder di kawasan hutan seperti yang terjadi dilampung,
bencana kebakaran hutan, deforestasi yang berdampak pada erosi dan sedimentasi,
perambahan dan pencurian kayu (illegal logging), dan dehumanisasi
masyarakat setempat, merupakan beberapa persoalan kritis yang sampai hari ini
belum terselesaikan. Kelestarian hutan dan kelangsungan hidup masyarakatnya
saat ini menjadi suatu wacana yang sangat langka bahkan cenderung hilang
bersama perubahan ekologi hutan dan sosial budaya masyarakat.
Krisis
kehutanan pada dasarnya terjadi karena kesalahan budaya yang tercermin dari
cara pandang, norma yang dianut, dan perilaku para pengelola hutan dalam
menerapkan kebijakan pembangunan kehutanan yang hanya berorientasi ekonomi
dalam pengelolaan sumber daya alam dalam hal ini hutan, akan menimbulkan
kerusakan lingkungan yang merugikan manusia, seperti bencana banjir, erosi dan
pemanasan global. Paradigma pembangunan
seperti itu tidak dapat dipertahankan lagi, dan harus diubah karena yang
demikian itu tidak saja memberikan keuntungan ekonomi, tetapi juga akan
menimbulkan perubahan-perubahan terhadap lingkungan fisik dan social budaya
yang memerlukan pengamanan secukupnya agar tidak merugikan dalam jangka panjang[12].
Menurut
Daud silalahi mengatakan bahwa konsep pembangunan yang dilaksanakan sekarang
tidak cukup hanya mempertimbangkan perbandingan biaya keuntungan, (cost-benefit ratio) saja, atau mekanisme
pasar saja, tetapi juga memperhitungkan ongkos-ongkos social yang timbul (social cost). Misalnya pengusaha masih
menganggap lingkungan sebagai benda bebas yang dapat digunakan sepenuhnya untuk
memperoleh laba yang sebesar-besarnya dalam waktu yang relative singkat. Akan
tetapi masyarakat sebagai keseluruhan akan melihat lingkungan sebagai bagian
dari kekayaan nyata yang tidak dapat lagi diperlakukan sebagai benda bebas[13].
Menelusuri pendapat diatas memberikan pemahaman kepada
kita bahwa selama ini pemerintah hanya mengutamakan fungsi fisik[14]
dari hutan itu saja, mengabaikan sifat dan fungsi hutan tidak langsung[15],
sehingga yang kita lihat terjadi adalah kerusakan fungsi hutan secara fisik
yang berdampak pada fungsi hutan tidak langsung[16].
Yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang kita rasakan saat ini. Apa
yang terjadi pada tingkat nasional sesungguhnya demikian juga keadaannya pada
tingka internasional terutama di Negara-negara maju.
Perubahan-perubahan
iklim akibat pemanasan global, disebabkan oleh pesatnya kemajuan dan
pemanfaatan teknologi oleh Negara-negara maju yang merupakan tulang
perekonomian dan telah membawa mereka kepada kemajuan dan kemakmuran, digerakan
oleh energi yang menggunakan bahan bakar minyak dan gas bumi serta batu bara
yang kemudian menghasilkan gas emisi karbon. Konsumsi energi yang boros oleh industri
Negara-negara maju, telah menyebabkan terjadinya pemanasan bumi pada tingkat
yang mencemaskan.
Untuk
mengatasi fenomena pemanasan global tersebut, maka masyarakat internasional mengambil
langkah-langkah penting dalam bidang hukum, yaitu dengan diadakanya KTT Bumi di
Brazil yang dihadiri oleh utusan-utasan dari 165 negara pada tahun 1992[17].
KTT tersebut meletakkan kerangka dasar bagi upaya penanggulangan masalah
pemanasan global, melalui kesepakatan perubahan iklim atau Framework Conventon on Climate Change (Konvensi Perubahan Iklim).
Konvesi ini dimaksudkan untuk mengurangi pola produksi dan konsumsi boros
terhadap penggunaan energi oleh Negara maju, yang telah terbukti meningkatkan
konsentrasi gas emisi karbon yang berdampak pada perubahan iklim[18].
Berhubung
konvensi perubahan iklim sifatnya sebagai Fremework
Convention, maka untuk implementasi diperlukan adanya suatu ketentuan tambahan
untuk menjalankannya sebagai regulatory
measures[19].
Oleh karena itu konvensi perubahan iklim memerlukan ketentuan tambahan yang
disebut protokol[20].
Setidaknya ada dua prinsip hukum yang dianut dalam konvensi perubahan iklim
dalam hal pengelolaan hutan yakni common but differentiated responsibilities[21]
dan precautionary principle[22].
Kemudian
lahirlah kesepakatan protocol Kyto
1997 sebagai implementasi dari konvensi perubahan iklim. Dalam Protokol Kyto
disebutkan bahwa Negara-negara Annex I dari konvensi perubahan iklim yaitu
sejumlah Negara-negara maju, akan mengurango emisi gas rumah kacanya minimal
sebesar 5% dibawah emisi tahun 1990. Protocol Kyto hanya membebani kewajiban
penurunan jumlah konsentrasi emisi karbon kepada Negara maju, sementara untuk
Negara yang sedang berkembang sesuai dengan kontribusinya yang sangat kecil
dalam buangan emisi karbonnya, belum dibebani kewajiban. Namun demikian Negara sedang berkembang dapat
mengambil peran dalam upaya penanggulangan pemanasan global, melalui kegiatan
pelaksanaan pembangunan yang dapat mereduksi emisi gas karbon.
Keikut
sertaan Negara-negara berkembang terutama Negara-negara pemilik hutan tropis
seperti Indonesia untuk mengatasi pemanasan global meskipun tidak dibebani
kewajiban, adalah didasarkan pada prinsip konvensi perubahan iklim yang penulis
sebutkan diatas yaitu (common but
differentianed responsibility) yang menurut Daud Silalahi bahwa setiap
pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama, namun secara khusus harus
dibedakan sesuai dengan kemampuannya[23].
B. Bentuk Tanggug Jawab Negara Berkembang Terkait
kerusakan lingkungan hutan tropis yang mengakibatkan perubahan iklim sehingga
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan global bisa terwujud.
Rusaknya hutan tropis tidak hanya terjadi di Indonesia,
tapi juga terjadi di negara-negara tropis lainnya yang umumnya adalah negara
berkembang dan miskin.
Lebih
dari satu juta hektar hutan yang sebagian besar merupakan hutan tropis hancur setiap bulannya di dunia
– setara dengan area hutan seluas satu lapangan sepak bola hancur setiap dua
detik[24]. Selain
menyokong keanekaragaman hayati dan masyarakat yang bergantung pada hutan,
hutan dan tanahnya menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar – hampir
tiga ratus milyar ton karbon atau sekitar 40 kali jumlah emisi yang dilepaskan
ke atmosfir. Penghancuran dan degradasi
hutan berpengaruh besar terhadap perubahan iklim dalam dua hal. Pertama,
perambahan dan pembakaran hutan melepaskan karbon dioksida ke atmosfir.
Kedua,kerusakan hutan akan mengurangi area hutan yang menyerap karbon dioksida.
Kedua peran ini sangat penting karena jika kita menghancurkan hutan tropis yang
tersisa, maka kita telah kalah dalam pertarungan menghadapi perubahan iklim.
Indonesia adalah contoh nyata perlunya rencana
matang yang didukung dengan dana bantuan internasional untuk melindungi hutan tropis.
Menurut data terakhir, laju deforestasi di Indonesia adalah laju deforestasi
tercepat di dunia.Hal ini menempatkan Indonesia menjadi negara ketiga terbesar
penghasil gas rumah kaca setelah Amerika Serikat dan Cina[25]. Kerusakan hutan
tidak semata-mata menjadi tanggung jawab negara-negara yang bersangkutan,
tetapi masyarakat negara industri yang memerlukan bahan baku yang tersedia di
hutan, juga harus ikut bertanggung jawab. Dalam hal ini Negara-negara maju telah
memberikan kontribusi yang sangat besar pada kerusakan hutan. Oleh karena itu,
mereka mempunyai tanggung jawab yang lebih besar pula bagi usaha-usaha
perlindungan hutan.
Tanggung jawab bersama yang berbeda
bobotnya (common but differentiated
responsibility) merupakan salah satu prinsip hukum internasional yang
bertujuan memberikan perlindungan terhadap lingkungan global dari aktivitas
kegiatan manusia. Untuk itu pertama kalinya, prinsip tersebut diperkenalkan
dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi tentang dan pembangunan di Rio de janeiro
1992.
Perwujudan terhadap pelaksanaan tanggung
jawab Negara tersebut (common but
differentiated responsibilities), selanjutnya dituangkan dalam konvensi
perubahan iklim (framework convention on
climate change) 1992, pasal 3 (1) menegaskan
the parties should protect the climate
system for the benefit of present and future generations of humankind, on the
basis of equity and in accordance with their common but differentiated responsibility and respective capabilities,
accordingly, the developed country parties, should take the lead in combating
climate change and the adverse effects thereof (para pihak wajib melindungi sistem iklim untuk umat manusia saat ini
dan akan dating berdasarkan pada prinsip persamaan dan susuai dengan kesamaan
tetapi tanggung jawab berbeda-beda dan kemampuna untuk menghormati, berdasarkan
itu, maka Negara-negara berkembang harus mengambil tindakan untuk memerangi
dampak buruk dari perubahan iklim)
jadi
setiap Negara baik Negara maju maupun Negara-negara berkembang, berkewajiban
untuk mengambil langkah-langkah bagi tercapainya kestabilan konsentrasi gas
rumah kaca di admosfer pada tingkat yang tidak membahayakan, namun kewajiban
tersebut mempunyai bobot yang berbeda, dan lebih besar ditanggung oleh Negara
maju. Besarnya tanggung jawab Negara-negara maju adalah sesuai dengan
konstribusinya terhadap pemanasan global. Hanya dengan demikian, upaya
pemulihan dan pelestarian lingkungan dengan berdasarkan prinsip pembangunan
berkelanjutan global dapat diwujudkan dengan baik.
Pembangunan
berkelanjutan merupakan salah satu prinsip hukum internasional yang sangat
mendasar berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam (lingkungan hidup).
Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) untuk pertama kalinya diperkenalkan pada tahun 1987 oleh
komisi dunia tentang lingkungan dan pembangunan (world Commision on Environment and development). Dalam laporannya,
komisi tersebut menjelaskan bahwa perlu adanya usulan agenda perubahan global
yang mencakup strategi lingkungan jangka panjang untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan mulai tahun 2000 dan mengidentifikasi hubungan antar manusia,
sumber daya lingkungan dan pembangunan sehingga dapat diintegrasikan kedalam
kebijakan nasional dan internasional[26].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan yang telah penulis paparkan
diatas maka ditarik beberapa kesimpulan diantarannya sebagai berikut :
1.
Paradigma pemerintah dalam pengelolaan
hutan berdasarkan aspek ekonomi semata, harus ditinggalkan karena dapat merusak
lingkungan yang akhirnya mengakibatkan perubahan iklim global yang dampaknya
akan menyengsarakan umat manusia.
2.
Bentuk tanggung jawab Negara berkembang
terutama pemilik hutan tropis seperti Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim
adalah bersifat Common but
Differentiated, dimana setiap pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama,
namun secara khusus harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya. Meskipun Negara
berkembang tidak diwajibkan untuk menurunkan emisi karbonnya berdasarkan Protokol Kyto, namun harus tetapi
bertanggung jawab untuk berpastisipasi berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Bambang
Pamulardi, Hukum Kehutanan Dan
Pembangunan Bidang Kehutanan, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Daud
Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem
Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 1992
Danial
Murdiyanto, Sepuluh Tahun Perjalanan
Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim, Kompas, Jakarta, 2003
Rahmat
Bowo Suharto, Perlindungan Hak Dunia
Ketiga Atas Sumber Daya Alam, Tiara Wacana, Yogjakarta, 2001
Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta,
2002,
Supriadi,
Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunana Di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
Disertasi
Sulbadana
Strategi Pelestarian Hutan Berdasarkan
Konsep Mekanisme pembangunan Bersih Untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan
Dalam Perspektif Hukum Lingkungan Internasional, Disertasi, Unpad, 2010,
Jurnal
Hukum
Sukandi
Husin, Hukum Internasional Tentang
Perubahan Iklim Didunia, Jurnal Hukum Internasional, Unpad, Vol. I/I/2002
Daud
Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang berbasis pembangunan social dan ekonomi, makalah
pada seminar pembangunan hukum nasional di bali, Juli 2003
Daud
Silalahi, Lingkugan sebagai Subjek Hukum
dan Kewenangan LSM Lingkungan Hukum
dan Pembangunan, No, 4, Agustus 1989
Food and
Agriculture Organisation of the United Nations (FAO 2005), Global Forest Resources Assessment 2005 (FAO, Rome, Italy).
Surat
Kabar dan Situs Internet
Konservasi
hutan dan pengurangan Utang, Harian Kompas, 19 Januari 2002 Hutan
Terkikis
Industri Kehutanan pun Terpangkas, Harian Kompas, 20 September 2003
Atep
Afia Hidayat, Rio Dan KTT Bumi 1992, di akses http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/03/31/rio-dan-ktt-bumi-1992/
Diakses di http://www.mediaindonesia.com, 21 November 2011. Lihat
juga Intip, edisi II-05/Agustus-September 2005
Penyebab
Pemanasan Global diakses di http://www.alpensteel.com/article/108-230-pemanasan-global/1582--penyebab-pemanasan-global-pada-bumi.html 21 Desember
2011
FAO 2005. Global
Forest Resources Assessment (FRA) 2005. Diakses http://www.fao.org/forestry/site/fra2005/en
[1]Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunana Di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, hlm 1
[2]Daud Silalahi, Lingkugan sebagai Subjek Hukum dan Kewenangan
LSM Lingkungan , Hukum dan Pembangunan, No, 4, Agustus 1989, hlm 451
[3]Diakses di http://www.mediaindonesia.com, 21 November
2011. Lihat juga Intip, edisi II-05/Agustus-September 2005
[4] Konservasi hutan dan pengurangan Utang, Harian Kompas, 19 Januari
2002
[5] Hutan Terkikis Industri Kehutanan pun Terpangkas, Harian Kompas, 20
September 2003
[6]Penyebab Pemanasan Global diakses
di http://www.alpensteel.com/article/108-230-pemanasan-global/1582--penyebab-pemanasan-global-pada-bumi.html 21 Desember 2011
[7] Ibid
[8]Sulbadana Strategi Pelestarian Hutan Berdasarkan Konsep Mekanisme pembangunan
Bersih Untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan Dalam Perspektif Hukum
Lingkungan Internasional, Disertasi, Unpad, 2010, hlm 3
[9] Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan Dan Pembangunan Bidang
Kehutanan, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 4
[10]Danial Murdiyanto, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi
Perubahan Iklim, Kompas, Jakarta, 2003, hlm 1
[11] Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta,
2002, hlm 46
[12] Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan
Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm 16
[13] Idem, hlm 17
[14]Hariadi Kartodihardjo mengatakan
bahwa Fungsi hutan secara fisik dapat ditentukan batas-batasannya secara
eksklusif yang kemudian dapat dibagi-bagi luasnya dan dapat dialihkan hak
penguasaannya kepada pihak lain. Pihak yang menerima hak dapat memanfaatkan
hutan seperti kayu, rotan, getah dan lain-lain.
[15]Manfaat hutan tidak langsung
seperti pengendalian erosi, penjagaan kesuburan tanah, penyerap karbon, dan
lain-lain akan terus berlangsung tanpa dapat dikendalikan oleh kebijakan
pengelolaan hutan
[16] Supriadi, Op. Cit, hlm 114
[17]Atep Afia Hidayat, Rio
Dan KTT Bumi 1992, di akses
http://green.kompasiana.com/penghijauan/2011/03/31/rio-dan-ktt-bumi-1992/
[18] Rahmat Bowo Suharto, Perlindungan Hak Dunia Ketiga Atas Sumber
Daya Alam, Tiara Wacana, Yogjakarta, 2001, hlm 90
[19] Sukandi Husin, Hukum Internasional Tentang Perubahan Iklim
Didunia, Jurnal Hukum Internasional, Unpad, Vol. I/I/2002, hlm 58
[20] Lihat Pasal 7 (2) dan Pasal 17
(1) konvensi Perubahan Iklim, 1992
[21] Lihat pasal 3 ayat (1) yaitu “the parties should protect the climate
system for the benefit of present and future generations of humankind, on the
basis of equity and in accordance with their common but differentiated responsibility and respective capabilities,
accordingly, the developed country parties, should take the lead in combating
climate change and the adverse effects thereof”
[22]
Lihat pasal the parties should take precautionary measures to anticipate,
prevent or minimize the cause of climate change and mitigate its adverse
effects, where there are thereats of serious or irreversible damage, lack of
full scientific certainty should not be used as a reason for postponing such
measures, taking into account that policies and measures to deal with climate
change should be cost-effective so as to ensure global benefit at lowest
possible cost
[23] Daud Silalahi, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam Yang berbasis pembangunan social dan ekonomi, makalah pada
seminar pembangunan hukum nasional di bali, Juli 2003
[24] Food and
Agriculture Organisation of the United Nations (FAO 2005), Global Forest
Resources Assessment 2005 (FAO, Rome, Italy).
[25]FAO 2005. Global
Forest Resources Assessment (FRA) 2005. Diakses http://www.fao.org/forestry/site/fra2005/en
[26] Sulbadana, Op. Cit, hlm 73
Tidak ada komentar:
Posting Komentar