Jumat, 14 Januari 2011

Anglo-Norwegian Fisheries Case Tentang Penarikan Garis Pangkal


BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Semenjak berakhirnya perang dunia II, hukum laut yang merupakan cabang hukum internasional telah mengalami perubahan-perubahan yang mendalam. Bahkan, dapat dikatakan telah mengalami revolusi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman[1]. Dua perkembangan penting setelah berakhirnya perang dunia II adalah :
1.      Penerimaan umum atas dokrin landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif
2.      Keputusan-keputusan international Court Of Justice dalam perkara Anglo Norwegian Fisheries Case[2]
Dalil yang diungkapkan oleh Bynkersoek melalui bukunya “De Dominio Maris Desertatio” yang terbit pada tahun 1907 memperingatkan kepada semua negara yang memiliki wilayah laut bahwa kedaulatan suatu negara di laut sangat tergantung pada kemampuan negara tersebut melakukan pengawasan secara fisik terhadap wilayah laut yang dikuasainya itu. Semakin luas wilayah laut yang dikuasai oleh suatu negara akan semakin besar pula tanggung jawab negara tersebut untuk mengawasinya[3].
Laut territorial atau laut wilayah adalah, jalur laut yang terletak pada sisi laut garis pangkal (base-line) dan sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outer-limet) yang ditarik sejajar dengan garis pangkal diatas. Menurut praktek negara pada dewasa ini jarak antara garis pangkal dan garis atau batas luar tadi berlainan. Ada kalanya menggunakan jarak 3 mil (Inggris, Amerika serikat, jepang, Nederland) 4 mil (Finlandia, Norwegia, Swedia), 5 mil (Indonesia, Saudi Arabia). Jarak yang terletak antara garis pangkal dan batas terluar laut territorial ini, yang dijadikan dalam mil laut merupakan lebar laut territorial suatu negara[4].
Pemikiran mengenai masalah laut territorial negara kepulauan sebenarnya sudah dilontarkan oleh seorang ahli hukum internasional Austria bernama Aubert dalam siding institute de Droit International (IDI) di Hamburg pada tahun 1889. Aubert menganjurkan agar sidang meninjau kembali penentuan batas-batas periaran territorial negara-negara yang mempunyai kepulauan di depan pantainya (Coastal archipelagos) seperti norwegia. Dia mengusulkan memperlakukan suatu kepulauan (outlying archipelagso) sebagai suatu kesatuan, dengan laut marginal selebar 6 mil yang di ukur dari pulau-pulau yang terletak pada titik atau posisi yang paling jauh dari kepulauan meskipun demikian usul Aubert ini tidak mendapat banyak dari peserta sidang (IDI) barulah pada tahun 1928, sidang IDI di Den Haag berhasil mengeluarkan suatu referensi yang memutuskan bahwa pulua-pulau harus diberlakukan sebagai suatu kesatuan kepulauan, dengan ketentuan bahwa jarak antara pulau-pulau itu tidak boleh melebihi dua kali lipat lebar laut territorial[5].  
Gagasan Aubert diatas justru dipraktekkan oleh Norwegia sebagai negara yang memiliki banyak pulau sepanjang pantainya dengan mengeluarkan suatu dekrit Raja pada tahun 1935 tentang perairan territorial norwegia. Inggris salah satu negara yang menentang dekrit tersebut karena yang tadinya wilayah tersebut merupakan laut bebas kini menjadi bagian dari wilayah Norwegia. Penarikan garis pangkal lurus yang dicantumkan dalam decrit Raja Norwegia tersebut ternyata mendapat pengakuan dalam hukum internasional dengan adanya putusan mahkamah internasional tanggal 18 Desember 1951 dalam perkara sengketa Perikanan Antara Inggris dan Norwegia. Dengan demikian maka negara-negara pantai memiliki ketambahan luas wilayah lautnya.  Kasus ini juga dianggap sebagai sebagai salah satu landmark dalam hukum kebiasaan internasional sehingga melahirkan Konvensi Jenewa[6].
Secara teknis yuridis keutuhan geografis suatu negara kepulauan ditandai oleh penggunaan sistem tertentu yang dijadikan dasar menarik garis pangkal yang dipakai untuk mengukur laut wilayah suatu negara[7]. Sampai saat dicapainya persetujuan jenewa tahun 1958 dan 1960, secara konvensional dalam masalah ini dikenal metode “normal base line” yang ditarik dari garis air rendah (low water line) sepanjang pantai sebagaimana tertuang dalam pasal 3 konvensi jenewa dan metode “straight base line” sebagaimana tertuang pada pasal 4 konvensi jenewa 1958 mengenai Teritorial sea and the Contigous Zone, walaupun konvensi tersebut belum menyebut secara tersendiri mengenai masalah negara kepulauan, tetapi konvensi telah menaruh perhatian kepada negara-negara yang memiliki kondisi geografis yang khas[8].

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, penulis membahas 2 (dua) masalah pokok sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah ketentuan-ketentuan penarikan garis pangkal setelah putusan Mahkamah Internasional terhadap kasus  Anglo-Norwegian Fisheries Case.?
2.      Bagaimanakah pengaruh pada praktek dan peraturan perundang-undangan Indonesia setelah  Putusan  Anglo-Norwegian Fisheries Case.?





BAB II
ANALISIS


1.    ketentuan-ketentuan penarikan garis pangkal setelah putusan Mahkamah Internasional terhadap kasus  Anglo-Norwegian Fisheries Case.
Prinsip hukum internasional yang  terdapat dalam kasus “Anglo-Norway Fisheries Case” ini adalah mengenai penetapan base line zona perikanan Norwegia. Laut teritorial atau laut wilayah, adalah jalur laut yang terletak pada sisi laut dari garis pangkal (base line) dan di sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit) yang ditarik sejajar dengan garis pangkal di atas. Base line merupakan garis pangkal yang dijadikan sebagai pedoman untuk menarik garis zona perikanan sepanjang 3 mil atau 4 mil dari garis pangkal tersebut[9].
Sesuai dengan kebiasaan internasional yang dianut kedua negara penetapan garis zona perikanan sejauh 3 mil diadopsi oleh United Kingdom sedangkan jarak 4 mil diadopsi oleh Norwegia. Sehingga dalam sengketa ini perbedaan prinsip antara kedua negara tentang penetapan laut territorial dari garis pangkal merupakan tugas Mahkamah Internasional untuk memutuskannya, manakah kiranya prinsip yang sesuai dengan hukum internasioanal
Menarik untuk dikaji kembali kasus perikanan Inggris dan Norwegia atau yang kita kenal Anglo-Norway Fisheries Case yang merupakan cikal bakal sehingga dikenalnya penetapan garis pangkal untuk negara-negara yang memiliki deretan pulau-pulau sepanjang pantainya adapun kronologis kasus tersebut yaitu
Fakta-fakta ;
Pada tahun 1935 Raja Norwegia mengeluarkan Decrit Kerajaan (royal Decree) yang menetapkan lebar laut territorial Norwegia 4 (empat) mil laut yang diukur dari pantai pada waktu air laut surut, tetapi tidak mengikuti lekukan-lekukan pantainya melainkan dengan menghubung-gubungkan titik-titik terluar dari pantainya atau titik-titik terluar dari pantai pulau-pulau didepannya. Penarikan garis pangkal seperti ini dianut oleh Norwegia dengan alasan bahwa situasi geografis dari pantai-pantai Norwegia yang sedemikian rupa berliku-likunya yang disebut fjord dan didepannya terdapat banyak deretan atau gugusan pulau maupun karang-karang kering. Jadi tidaklah mungkin bagi Norwegia untuk menerapkan garis pangkal normal dalam mengukur lebar laut territorialnya. Dengan berdasarkan pada garis pangkal lurus dalam mengukur lebar laut territorialnya. Norwegia memang lebih beruntung jika dibandingkan dengan mendasarkan pada garis pangkal normal, sebab bagian laut yang menjadi perairan teritorialnya menjadi bertambah luas, bagian laut yang semula merupakan laut lepas ketika masih berdasarkan garis pangkal normal kini menjadi bagian dari laut territorial Norwegia. Dengan penerapan garis pangkal lurus ini, tentu saja inggris sebagai negara tetangga yang berhadapan langsung dengan Norwegia merasa sangat dirugikan, oleh kerena nelayan-nelayannya yang sudah biasa menangkap ikan di laut yang semula merupakan bagian dari laut lepas didepan pantai Norwegia yang dengan menerapkan garis pangkal lurus maka akan berubah statusnya menjadi laut territorial norwegia, kini dilarang menangkap ikan bahkan ditangkap dan diadili oleh Norwegia, inggris menentang tindakan norwegia ini dan mengajukan protes keras sehingga berkembang menjadi sengketa, sebenarnya, yang ditentang oleh inggris bukanlah lebar laut territorial Norwegia yang 4 mil, tetapi penerapan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung dalam pengukurannya, sebagaimana tercantum dalam decrit kerajaan Norwegia 1935, jalan damai melalui perundingan ternyata tidak berhasil menyelesaikan sengketa ini, dan akhirnya kedua pihak sepakat untuk mengajukannya ke hadapan Mahkamah Internasional pada tahun 1949. Mahkamah internasional yang memeriksa perkara ini sampai pada keputusan yang membernarkan tindakan Norwegia tersebut[10]
Dasar Pertimbangan Mahkamah
(a)    atas gugatan yang dilakukan oleh inggris terhadap Norwegia, mahkamah berpendapat bahwa sistem mengukur dengan garis lurus mengikuti garis pantai telah diterapkan secara sungguh-sungguh oleh Norwegia dan tidak ditentang oleh negara-negara lain, mahkamah kemudian menunjuk bahwa karena tidak adanya protes negara lain, dan keadaan demikian telah merupakan praktek yang telah lama dilaksanakan maka Mahkamah berpendapat bahwa sistem garis pangkal Norwegia adalah sesuai dengan hukum internasional[11].
(b)   Pertimbangan mahkamah berdasarkan atas bentuk geografis negara Norwegia yang mempunyai corak yang khas, yaitu pantainya berliku-liku (fjord) dan didepan pantai terdapat deretan pulau yang dalam bahasa Norwegia disebut “skjaergaard” yang patut termasuk wilayah Norwegia atau menurut sejarahnya dianggap demikian[12]
Dari berbagai argumentasi selama proses pengadilan berlangsung, dapat ditarik beberapa hal penting yang berhubungan dengan penafsiran atas suatu undang-undang nasional dan Konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hukum bagi mahkamah yaitu[13]:
(a)    Mahkamah telah melakukan metode penafsiran sejarah[14] atau penafsiran interprestasi Historis[15]. dimana dalam ketentuan Statuta Roma Pasal 38 ayat 1 kebiasan-kebiasaan internasional dijadikan salah satu sumber hukum internasional.  mahkamah menurut hemat penulis mengacu kepada kebiasan-kebiasaan internasional yang telah berlangsung cukup lama yang dilakukan oleh norwegia, terbukti bahwa praktek yang dilakukan oleh norwegia sudah berlangsung cukup lama dan terus menerus disamping itu tidak ada yang memprotes hal tersebut. Hukum kebiasaan internasional dijadikan sebagai sumber hukum apabila memenuhi 2 unsur (1) harus terdapat sesuatu kebiasaan yang bersifat umum. (2) kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum[16]  
(b)   The Principle Of Effektiveneess[17], yang telah diterapkan oleh mahkamah dalam memutus perkara ini dimana decrit raja mengenai penarikan garis pangkal lurus tersebut diterapkan oleh norwegia secara sungguh-sungguh sehingga penarikangaris pangkal lurus ini lebih evektif dan bermanfaat karena secara geografis deretan pulau-pulau yang berada di sepanjang pantai norwegia menjadi kesatuan dari wilayah perairan Norwegia
(c)    Teleological School[18] penarikan garis pangkal yang termuat dalam Decrtit raja ini harus diartikan secara luas untuk kepentingan negara-negara yang memiliki deretan pulau sepanjang pantainya selama penarikan garis pangkal  ini tidak bertentangan dengan kebiasan-kebiasaan internasional yang dijadikan sebagai sumber hukum internasional boleh berbeda selama itu untuk menyatukan keutuhan wilayah negara     
Perlu dicatat dalam kasus diatas yang paling penting dan merupakan sejarah dalam hukum laut internasional bahwa pengakuan cara penarikan garis dasar lurus yang menghubungkan titik yang terletak pada pulau-pulau terluarnya untuk menentukan laut territorial dimana negara itu mempunyai bentuk gegrafis yang khas. Dari urain diatas telah disebutkan bahwa kasus anglo Norwegia Fidheries ini merupakan landmark dari kebiasaan internasional sehingga melahirkan konvensi Jenewa tahun 1958 dimana konvensi ini mengatur tata cara penarikan garis pangkal. Konvensi I Jenewa tahun 1958 mengenai laut teritorial dan jalur tambahan (Convention on the Territoal Sea and Contiguous Zone) menetapkan bahwa apabila penarikan garis pangkal dari ujung ke ujung diberlakukan maka tadinya laut yang merupakan laut lepas menjadi laut pedalaman di mana harus ada hak lalu-lintas damai (right of innocent passage)[19].
Konvensi I Jenewa tahun 1958 Pasal 4 ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus, yakni: (1)  di tempat-tempat di mana pantai banyak liku-liku tajam atau laut masuk jauh ke dalam dan  (2) apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai. Ayat 2, 3, dan 5 memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh ketentuan perairan pedalaman (ayat 2). Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh ditarik di antara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air di waktu pasang surut (low-tide elevations) kecuali apabila di atasnya telah didirikan mercusuar  atau instalasi-instalasi serupa yang setiap waktu ada di atas permukaan air (ayat 3). Syarat ketiga adalah penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan laut lepas ( ayat 5).
Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan ketentuan ayat 1 menegenai penetapan garis lurus sebagai garis pangkal.  Ayat ini menetapkan bahwa dalam penetapan garis pangkal lurus dapat diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan oleh kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah berlangsung lama. Ketentuan dalam ayat 1 menunjukkan bahwa sistem garis pangkal lurus  adalah cara penarikan garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan suatu negara. Ketentuan ini berarti bahwa satu Negara dapat menggunakannya disebagian pantainya, yang memenuhi syarat ayat 1. Dengan perkataan lain, suatu Negara dapat menggunakan satu kombinasi pada sistem “normal base-line” dan “straight base-line” .
 Setelah diratifikasinya konvensi hukum laut 1982, maka kita mengenal 3 penarikan garis pangkal yaitu :
1.      Garis pangkal biasa yaitu garis air terendah sepanjang pantai pada waktu air sedang surut, yang mengikuti segala lukuk liku (morfologi) pantai.
2.      Garis Pangkal Lurus yaitu garis air terendah yang menghubungkan titik-titik pangkal berupa titik-titik terluar dari pantai daratan utama suatu negara atau dari pantai pada gugusan pulau dimukannya
3.      Garis pangkal lurus kepulaluan yaitu garis-garis air rendah yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau dan karang kering terluar dari wilayah negara[20]
Ketiga cara penarikan garis pangkal tersebut tidak boleh ditarik kedan dari elevasi surut. Artinya, elevasi surut tidak boleh dijadikan titik pangkal untuk menarik garis pangkal lurus (di analisis lagi kalimat ini). Adapun yang dimaksud dengan elevasi surut adalah : Suatu elevasi surut adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang. Dalam hal suatu elevasi surut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut territorial dari daratan utama atau suatu pulau, maka garis surut pada elevasi demikian dapat digunakan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran lebar laut territorial.     
B.       Pengaruh pada praktek dan peraturan perundang-undangan Indonesia setelah  Putusan  Anglo-Norwegian Fisheries Case
Walaupun belum ada ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional mengenai “midocean archipelago” yang akan diterapkan pada negara-negara kepulauan sebelum konperensi PBB tentang hukum laut I secara unilateral telah menerapkan sistem penarikan garis-garis pangkal lurus terhadap “midocean archipelago” mereka atas dasar keputusan Mahkamah Internasional dalam kasus Anglo-Norwegian Fisheries Case tahun 1951. Pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan dasar negara-negara tersebut untuk menerapkan cara penarikan garis pangkal lurus menjadi konsepsi negara kepulauan cukup banyak dan berbeda-beda antara lain faktor sejarah bagi Filipina, faktor-faktor geografis, historis, ekonomi dan hankamnas bagi Indonesia faktor sumber kekayaan alam bagi Fiji dan Bahama[21].
Negara-negara kepulauan tersebut merasakan perlunya memperjuangkan konsepsi negara kepulauan untuk melindungi kepentingan mereka. Penerapan konsepsi negara kepulauan ini tidak saja untuk memelihara keutuhan wilayah mereka secara geografis, tetapi juga untuk memelihara dan melindungi keutuhan negara secara politis, ekonomi dan hankamnas, selanjutnya negara-negara kepulauan memperjuangkan suatu rejim hukum bagi negara kepulauan, yaitu negara yang seluruhnya atau sebagian besar terdiri dari gugusan pulau atau beberapa gugusan pulau. Rejim negara kepulauan yang diperjuangkan oleh negara-negara kepulauan tersebut pada hakekatnya merupakan penerapan prinsip garis pangkal lurus pada negara kepualauan, meskipun prinsip ini berdasarkan hukum internasional hanya berlaku bagi kepulauan pantai, berdasarkan rejim negara kepulauan ini maka garis-garis pangkal lurus ditarik dari titik-titik terluar di pulau-pulau terluar negara tersebut.
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yangmana  garis-garis pangkal lurus yang ditarik Indonesia bukanlah garis pangkal yang menghubungkan suatu deretan pulau yang terletak di sepanjang pantai dengan deretan utamanya (mainland), tetapi merupakan garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan pulau-pulau terluar dari kepulauan Indonesia sehingga menjadikan kepulauan tersebut suatu kesatuan yang utuh dan kompak.
Kepulaun Indonesia adalah kepulauan tengah samudra (midocean archiplego) yang merupakan suatu kesatuan politik. Indonesia seperti halnya Filipina, Fiji, dan bahama merupakan negara “midocean archipelago” yang merdeka dan berdaulat.[22] keputusan Mahkamah Internasional dalam  Anglo-Norwegian Fisheries Case pada hakekatnya bertujuan untuk memelihara kesatuan pulau-pulau di dekat pantainya yang merupakan bagian integral dari wilayah Norwegia sendiri, secara anologi dan interprestasi konsepsi tersebut tentunya dapat pula diterapkan untuk negara kepulauan dengan tujuan yang sama yaitu menjaga dan memelihara keutuhan negara-negara kepulauan tersebut. Praktek-praktek negara kepulauan yang menarik garis-garis pangkal lurus atas dasar analogi dan interprestasi seperti yang dilakukan Indonesia walaupun pada mulanya ditentang oleh negara-negara maritim besar terbukti secara berangsur-angsur diterima juga oleh masyarakat internasional[23]
Dalam ordonansi 1939 ditetapkan, bahwa kedua metode pengukuran dan penetapan garis pangkal laut wilayah digunakan untuk menentukan laut wilayah Indonesia, terhadap metode yang didasarkan atas asas archipelago diadakan pembatasan dengan menetapkan bahwa jarak antara kedua titik yang dihubungkan tidak melebihi 6 mil, berdasarkan ajaran dan anggapan ordonansi 1939 memandang perwujudan fisik geografis Indonesia tidak sebagai suatu archipelago yang merupakan suatu kesatuan yang utuh melainkan hanya sebagai kumpulan kekuasaan daratan yang terpisah satu sama lain hingga memiliki laut wilayahnya sendiri-sendiri[24]. Penentuan batas lautan territorial seperti termaktub dalam teritoriale Zee en maritieme kringen Ordonnantie 1939 ini tidak sesuai lagi dengan pertimbangan-pertimbangan karena membagi daratan wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan territorialnya sendiri-sendiri[25]
Menurut Dubner wakil Indonesia (sebagai juru bicara dari negara-negara kepulauan) menyatakan bahwa suatu archipelago harus dipandang sebagai unit (kesatuan) dengan laut territorial yang diukur dari garis-garis pangkal antara pulau-pulau terluarnya. Perairan yang terletak pada bagian pantai dari garis pangkal dianggap sebagai perairan pedalaman[26].
  Pada tanggal 13 desember 1957 pemerintah RI telah mengeluarkan suatu pernyataan (Deklarasi) yang dikenal dengan deklarasi juanda dalam deklarasi ini dinyatakan bahwa seluruh perairan yang berada disekitar, diantara yang mengubungkan pulau-pulau indonesia adalah kedaulatan mutlak dari negara indonesia, lebar laut territorial adalah 12 mil yang diukur sejajar dengan garis dasar lurus yang menghubungkan titik-titik terluar yang terlatak pada pulau-pulau terluar milik indonesia, sedangkan wilayah laut yang berada disebelah dalam garis dasar dianggap sebagai perairan perdalaman (internal water).[27]
Pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah mengeluarkan pernyataan tersebut adalah :
(1)   Bahwa bentuk geografi Indonesia sebagai suatu negera kepulauan yang terdiri dari beribu-beribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan pengaturan tersendiri
(2)   Bahwa penerapan batas-batas laut territorial yang diwarisi oleh pemerintah kolonial sebagaimana termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939” tidak sesuai lagi dengan kepentingan dan keamanan negara republik indonesia
(3)   Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya[28]
(4)   Bahwa bagi kesatuan wilayah negara republik Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat[29]
Pentingnya pengumuman pemerintah tanggal 13 desember 1957 ini bukan hanya karena ia merupakan produk legislatif nasional dibidang hukum laut, tetapi lebih dari itu karena ia merupakan titik tolak bagi perkembangan hukum laut nasional selanjutnya[30].
Pokok-pokok pemikiran yang tercantum dalam deklarasi Djuanda tersebut kemudian menjadi bagian dari Rancangan Pasal-pasal tentang Negara kepulauan dalam Konferensi Hukum Laut Ke III, yang diusulkan oleh Indonesia bersama-saam Fiji, Filipina dan Mauritius (Rancangan Pasal-pasal Empat negara). Rancangan pasal-pasal empat negara ini kemudian menjadi dasar pengaturan Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 tentang negara kepulauan[31]. Oleh karena Deklarasi Djuanda ini tidak memiliki kekuatan hukum sebagai dasar pengaturan wilayah perairan Indonesia maka Indonesia memperkokohnya melalui undang-undang No 4/Prp./Tahun 1960 tentang perairan Indonesia yang diumumkan pada tanggal 18 Februari 1960 yang merupakan pernyataan sepihak Pemerintah tentang wilayah perairan Indonesia menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional. Tindakan pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No 4 (prp) tahun 1960 itu merupakan suatu keberanian karena baru saja diadakan konperensi internasional mengenai hukum laut[32].Kemudian undang-undang ini telah dicabut dan disesuaikan dengan ketentuan hukum internasional yang baru melalui undang-undang No 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia yang terdiri dari 27 pasal yang dikelompokan dalam 7 bab
Menurut pasal 2 Undang-Undang No, 6 Tahun 1996 tentang periaran indonesia, Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang berarti: segala perairan disekitar, diantara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara republik Indonesia dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan indonesia yang berada dibawah kedaulatan negara Republik Indonesia.
Wilayah perairan Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yaitu laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman. Yang dimaksud dengan laut teritorial adalah jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal lurus kepulauan. Yang dimaksud perairan kepulauan adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Perairan pedalaman adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari garis-garis penutup. Perairan pedalaman terdiri dari laut pedalaman dan perairan daratan[33].
Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan.  Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan  tidak dapat digunakan,maka digunakan garis pang-kal biasa atau garis pangkal lurus. Garis pangkal lurus  adalah garis -garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering terluar dari kepulauan Indonesia. Panjang garis pangkal lurus kepulauan  tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis -garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.
Garis pangkal lurus kepulauan  tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat. Garis pangkal biasa  adalah garis air rendah sepanjang pantai sedangkan Garis pangkal lurus  adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai[34].
Menurut ahli hukum laut internasional Hasjim Djalal, penetapan titik pangkal sangat penting karena merupakan elemen penting perundingan batas wilayah kedaulatan sebuah negara. Dari titik-titik itulah, wilayah kedaulatan Republik Indonesia ditentukan[35]Menggunakan metode penarikan garis pangkal demikian, maka secara yuridis keutuhan wilayah sebagai negara nusantara terjamin disamping itu menjadi jelas batas wilayah perairan Indonesia, bukan saja luas berlakunya yang jelas tetapi status yuridis yang mempunyai konsekuensi terhadap kedaulatan Indonesia juga menjadi lebih jelas, dengan demikian terjamin pula secara hukum keutuhan wilayah negara Republik Indonesia yang berupa daratan atau pulau/bagian pulau yang satu dengan yang lain karena disatukan di bawah kedaulatan Indonesia dengan adanya laut disekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau tersebut sebagai bagian territorial negara
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Persengketaan perikanan antara Inggris dan Norwegia atau lebih dikenal dengan Kasus  Anglo-Norwegian Fisheries Case yakni mengenai penarikan garis pangkal, merupakan landmark dari kebiasaan internasional sehingga melahirkan konvensi Jenewa tahun 1958 dimana konvensi ini mengatur tata cara penarikan garis pangkal, dan juga kasus ini memberikan keuntungan bagi negara-negara yang memiliki deretan-deretan pulau sepanjang pantainya atau negara yang dikategorikan sebagai negara kepulauan karena negara tersebut dapat menggunakan 3 metode penarikan garis pangkal yaitu garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis pangkal kepuluan, Perlu dicatat dalam kasus diatas yang paling penting dan merupakan sejarah dalam hukum laut internasional bahwa pengakuan cara penarikan garis dasar lurus yang menghubungkan titik yang terletak pada pulau-pulau terluarnya untuk menentukan laut territorial dimana negara itu mempunyai bentuk gegrafis yang khas.
2.   Diakuinya penarikan garis pangkal lurus pada putusan mahkamah internasional memberikan dampak perubahan siknifikan bagi peraturan perundang-undangan nasional dimana Indonesia dengan peryataan sepihaknya tentang wilayah territorial yang tertuang dalam deklarasi djuanda telah merubah aturan-aturan yang sebelumnya dimana negara hanya memiliki wilayah territorial seluas 3 mil laut dengan adanya deklarasi djuanda dan dikokohkan dengan undang-undang No 4/Prp./Tahun 1960 dan digantikan undang-undang No 6 Tahun 1996 tentang periaran Indonesia maka luas wilayah Indonesia menjadi 12 mil.  menyatukan keutuhan wilayah republik Indonesia yang mana merupakan negara kepulauan.
B.       Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut :
1.      Diakuinya 3 (tiga) cara penarikan garis pangkal maka seharus Indonesia sesegera mungkin melakukan perundingan batas-batas wilayahnya karena sampai saat ini masih ada batas-batas wilayah kita yang belum jekas batas wilayahnya.
2.      Dikeluarkannya Undang-undang No 6 Tahun 1996 Tentang perairan Indonesia harusnya ditunjang dengan pengamanan wilayah laut yang lebih optimal lagi sehingga mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh negara-negara lain yang seenaknya masuk kewilayah kedaulatan negara Republik Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
A. Hamzah, Laut, Teritorial Dan perairan Indonesia, Himpunan Ordonansi, undang-undang dan peraturan lainya, Akademi Pressindo, Jakarta
Atjie Misbach Muhjidin, Status Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing, Alumni, Bandung
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global Edisi ke 2, Alumni, Bandung
Chairul Anwar. “Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut  Internasional Konvensi Hukum Laut 1982, Djambatan, Jakarta
Dimyati Hartono, Hukum Laut Internasional Pengamanan Pemugaran Yuridis Kawasan Nusantara Negara Republik Indonesia, Bhratara Karya, Jakarta
Etty R. Agoes. Dimanakah Batas-Batas Wilayah Kita Di Laut. Departemen Kelautan Dan Perikanan Drektorat Jenderal Peningkatan Kelembagaan Dan Pemasaran Direktorat Kelembagaan Internasional
Harry Suhardi, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, Jakarta,
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung
Mochtar Kusumaatmadja, Masalah-masalah lebar laut territorial pada Konperensi Hukum Laut Jenewa, Universitas, Bandung
------------------------------- Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung

M. Dimyati Hartono. Hukum Laut Internasional Yurisdiksi Nasional Indonesia Sebagai Negara Nusantara, Binacipta, Bandung
P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum laut bagi Indonesia,  Sumur Bandung,
ST. Munadjat Danusaputro, Tata Lautan Nusantara Dalam Hukum Dan Sejarahnya, Binacipta, Bandung
Sumitro LS Danuredjo, Hukum Internasional Laut Indonesia Dewasa Ini, Bharata, Jakarta
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty  Jogyakarta, Yogyakarta,
T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Rafika Aditama, Bandung,
Yuha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran  Dan Kontruksi Hukum, Alumni, Bandung

Situs Internet
Gesit Ariyanto, 193 titik dasar, 92 pulau terluar,Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan nasional (Bakosurtanal)  <http://www.bakosurtanal.go.id/bakosurtanal/193-titik-dasar-92-pulau-terluar/
Tyo setiadi, “Anglo-Norway Fisheries  Case” < http://tyosetiadilaw.wordpress.com/2010/05/06/anglo-norway-fisheries-case/htlm>[06/05/2010]
Peraturan Perundang-Undang Nasional
Undang-undang No 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia
Konvensi-Konvensi Internasional
United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS)
Konvensi Jenewa tahun 1958






[1] Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global Edisi ke 2, Alumni, Bandung, hlm 303
[2] T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Rafika Aditama, Bandung, hlm 2
[3] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, hlm 20
[4] Mochtar Kusumaatmadja, Masalah-masalah lebar laut territorial pada Konperensi Hukum Laut Jenewa, Universitas, Bandung, hlm 1
[5] Sumitro LS Danuredjo, Hukum Internasional Laut Indonesia Dewasa Ini,Bharata, Jakarta, hlm 84
[6] Tyo setiadi, “Anglo-Norway Fisheries  Case” < http://tyosetiadilaw.wordpress.com/2010/05/06/anglo-norway-fisheries-case/htlm>[06/05/2010]
[7] M. Dimyati Hartono. Hukum Laut Internasional Yurisdiksi Nasional Indonesia Sebagai Negara Nusantara, Binacipta, Bandung, hlm 52
[8] Ibid
[9] Tyo setiadi, Loc. Cit
[10] I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, hlm 158-159
[11] Chairul Anwar. “Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut  Internasional Konvensi Hukum Laut 1982, Djambatan, Jakarta, hlm 21
[12] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, hlm 106
[13] Yuha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran  Dan Kontruksi Hukum, Alumni, Bandung, hlm 35
[14] Idem, hlm 36
[15] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty  Jogyakarta, Yogyakarta, hlm 60
[16] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, hlm 144
[17] J.G. Starke, An Introduction to International Law, dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran Dan Konstruksi Hukum, Op, Cit, hlm 24
[18] Mieke Komar, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina 1969  Tentang Hukum Perjanjian Internasional, dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Op. Cit, hlm 25
[19] Tyo setiadi, “Anglo-Norway Fisheries  Case” Ibid
[20] Etty R. Agoes. Dimanakah Batas-Batas Wilayah Kita Di Laut. Departemen Kelautan Dan Perikanan Drektorat Jenderal Peningkatan Kelembagaan Dan Pemasaran Direktorat Kelembagaan Internasional, hlm 11-14.
[21] Harry Suhardi, Perjuangan Indonesia DI Bidang Hukum Laut, Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen Luar Negeri, Jakarta, hlm 29-30
[22] Idem,  hlm 18
[23] Ibid
[24] ST. Munadjat Danusaputro, Tata Lautan Nusantara Dalam Hukum Dan Sejarahnya, Binacipta, Bandung, hlm 78
[25] R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum laut bagi Indonesia,  Sumur Bandung, hlm 16
[26] Atjie Misbach Muhjidin, Status Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing, Alumni, Bandung, hlm 73
[28] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional buku I, dalam P. Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm 6
[29] Harry Suhardi, Op.Cit, hlm 19
[30] Dimyati Hartono, Hukum Laut Internasional Pengamanan Pemugaran Yuridis Kawasan Nusantara Negara Republik Indonesia, Bhratara Karya, Jakarta, hlm 14
[31] Etty R. Agoes, Op. Cit, hlm 5
[32] A. Hamzah, Laut, Teritorial Dan perairan Indonesia, Himpunan Ordonansi, undang-undang dan peraturan lainya, Akademi Pressindo, Jakarta, hlm 7
[33] Pasal 3 Undang-undang No 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia
[34] Pasal 5 Undang-undang No 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia
[35] Gesit Ariyanto, 193 titik dasar, 92 pulau terluar,Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan nasional (Bakosurtanal)  <http://www.bakosurtanal.go.id/bakosurtanal/193-titik-dasar-92-pulau-terluar/

1 komentar:

  1. Thanks for info jangan lupa kunjungi website kami https://bit.ly/2MnNWVl

    BalasHapus