Rabu, 08 Desember 2010

Jurisdiksi Negara (State’s Jurisdiction) DAN LAUT LEPAS (high Seas)



Jurisdiksi Negara (State’s Jurisdiction)
A.    Zona Tambahan
Zona Tambahan (contiguous zone) secara tradisional adalah bagian dari laut lepas, tetapi negara-negara dapat melakukan fungsi-fungsi tertentu didalam zona tersebut. Adapaun defenisi Zona tambahan adalah suatu jalur laut yang terletak di luar laut territorial yang tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut territorial diukur. Sedangkan defenisi zona tambahan di dalam Pasal 33  Ayat 1  UNCLOS  1982 dinyatakan bahwa suatu zona yang berbatasan dengan laut teritorialnya, yang dinamakan zona tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk:
(a)    Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan cea cukai, fiskal imigrasi atau saniter didalam wilayah atau laut teritorialnya
(b)   Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di atas yang dilakukan didalam wilayah atau laut teritorialnya.
Zona tambahan tidak boleh melebihi lebih 24 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut territorial di ukur[1]. Status zona tambahan berbeda dengan status laut territorial, kalau laut teritorial adalah milik kedaulatan suatu Negara pantai secara mutlak, sedangkan status zona tambahan adalah tunduk pada rejim jurisdiksi pengawasan Negara pantai, bukan bagian dari kedaulatan Negara[2]. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan:
1.      Tempat atau garis darimana lebar laut tambahan itu harus diukur, tempat atau garis itu adalah garis pangkal
2.      Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari garis pangkal
3.      Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal adalah merupakan laut territorial, maka secara praktis lebar zona tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu di ukur dari garis atau batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut territorial.
4.      Pada zona tambahan negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang terbatas seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi hukum laut internasional 1982 hal ini tentu saja berbeda dengan laut territorial di mana negara pantai di laut territorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan hanya dibatasi oleh hak lintas damai[3]

B.     Landas Kontinen
Sejarah lahirnya konsep tentang landas kontinen berawal setelah perang dunia ke II dimana keadaan berubah dengan radikal, pada tanggal 28 September 1945  Presiden Truman memproklamirkan kebijaksanaan pemerintah Amerika Serikat, dalam kaitan dengan sumber-sumber alam dari tanah-tanah dibawah permukaan air dan dasar laut dari landas kontinen[4]. Proklamasi ini sebenarnya terdiri atas dua hal yaitu, yang pertama tentang landas kontinen dan yang kedua tentang perikanan.
Proklamasi Truman menampakkan sifat yuridis konsep landas kontinen dalam beberapa hal :
1.      Ditegaskan bahwa yurisdiksi dan pengawasan Amerika Serikat hanya terbatas pada sumber-sumber daya alam yang terkandung di dalam landas kontinen tersebut;
2.      Proklamasi Truman tersebut walaupun tidak secara eksplisit, tidak mengubah status yuridis dari landas kontinen itu sendiri sebagai dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak atau berada di luar laut teritorial Amerika Serikat. Demikian pula dengan status perairan di atasnya sebagai laut lepas (high seas) disertai dengan kebebasan pelayaran di laut lepas (freedom of navigation) yang merupakan salah satu kebebasan laut lepas yang secara tradisional dan turun temurun sudah diakui dan dihormati masyarakat internasional, sama sekali tidak dihalang-halangi. Dengan kata lain, status perairan di atasnya sebagai laut lepas dengan kebebasan laut lepasnya, masih tetap diakui oleh Amerika Serikat[5].
Proklamasi Presiden Truman tentang landas kontinen dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat menganggap sumber-sumber alam dari tanah di bawah permukaan air dan dasar laut dari landas kontinen dibawah laut lepas, tetapi bersambung dengan pantai Amerika Serikat, menjadi bagian dan berada di bawah wilayah yurisdiksi dan pengawasan Amerika Serikat[6].
Menurut Bishop walaupun bukanlah maksud proklamasi Presiden Truman untuk memperluas kedaulatan Amerika Serikat kelaut di luar batas laut territorial, tetapi hanya tentang hak-hak khusus atas sumber-sumber alam dari dasar laut dan tanah dibawah permukaan air dan hak-hak khusus tentang penangkapan ikan, namun beberapa negara latin amerika menganggap proklamasi ini sebagai suatu pernyataan perluasan kedaulatan.
Landas Kontinen (continental shelf) sudah diatur oleh Konvensi-Konvensi Jenewa 1958 yang sekarang sudah tidak berlaku lagi karena digantikan dengan Konvensi Hukum Laut 1982. Pengertian landas kontinen mengalami perubahan signifikan sebagaimana terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982[7]. Menurut Pasal 1 Konvensi Jenewa (Convention on the Continental Shelf) 1958 pengertian landas kontinen adalah sebagai berikut :
(a) dasar laut dan tanah di bawahnya yang berhadapan dengan pantai tapi di luar laut territorial sampai kedalaman 200 meter atau di luar batas itu sampai dimungkinkan eksploitasi sumber daya alam tersebut;
(b) sampai dasar laut dan tanah di bawahnya yang berhadapan dengan pantai dari pulau-pulau.
Pada umumnya pengertian landas kontinen tersebut akan mempunyai kedalamanan 130-500 meter, di sambung dengan lereng kontinen (continental Slope) dengan kedalaman 1200-3500 meter, dan di terakhir adalah tanjakan kontinen (continental rise) dengan kedalaman 3500-5500 meter. Ketiga Kontinen tersebut membentuk continental margin atau pinggiran kontinen[8]
            Semua ketentuan tentang landas kontinen menurut Konvensi Jenewa 1958 diubah oleh Konvensi Hukum Laut 1982. Pengertian landas kontinen menurut Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982 adalah sebagai berikut:
(a) dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang adanya kelanjutan ilmiah dari wilayah daratannya sampai ke pinggiran tepi kontinen; atau
(b) dasar laut dan tanah di bawahnya sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal di mana laut teritorial diukur;
(c) landas kontinen dimungkinkan mencapai 350 mil laut dari garis pangkal di mana laut teritorial diukur; atau
(d) tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman (isobath) 2500 meter.
Negara pantai menjalankan hak berdaulat di landas kontinen untuk tujuan mengeksplorasinya dan mengeksploitasinya sumber kekayaan alamnya[9]. tetapi di samping itu Indonesia mempunyai kewajiban untuk menetapkan batas terluar landas kontinen sejauh 350 mil dan menyampaikan kepada Komisi Landas Kontinen (Commission on the Limits of the Continental Shelf) yang selanjutnya diatur oleh Lampiran (Annex) II Konvensi Hukum Laut 1982. Penentapan batas-batas landas kontinen baik sejauh 200 mil maupun 350 mil tersebut wajib disampaikan salinannya kepada Sekretaris Jenderal PBB yang di dalamnya memuat informasi yang relevan seperti data geodetik dan peta-peta lainnya[10].
Hak tersebut dalam ayat 1 diatas adalah eksklusifnya dalam arti bahwa apabila negara pantai tidak mengekplorasi landas kontinen atau mengekploitasi sumber kekayaan alamnya, tiada seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan tegas negara pantai[11]. Hak suatu negara pantai atas landas kontinen tidak tergantung pada pendudukan (okupasi), baik efektif atau tidak tetap ( national), atau pada proklamasi secara jelas apapun[12].
Hak negara pantai atas landas kontinen tidak boleh mempengaruhi status hukum perairan di atasnya atau ruang udara di atas perairan tersebut[13]. Pelaksanaan hak negara pantai atas landas kontinen tidak boleh mengurangi, atau mengakibatkan gangguna apapun yang tak beralasan terhadap pelayaran dan hak serta kebebasan lain yang dimiliki negara lain[14].
Semua negara berhak untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut di atas landas kontinen.[15] Dengan tunduk pada haknya untuk mengambil tindakan yang patut untuk mengeksplorasi landas kontinen, mengekploitasi sumber kekayaan alamnya dan untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari pipa, negara pantai tidak boleh menghalangi pemasangan atau pemeliharaan kabel atau pipa demikian[16]. Penentuan arah jalannya pemasangan pipa laut demikian di atas landas kontinen harus mendapat persetujuan dari negara pantai[17] oleh karena di landas kontinen negara pantai memiliki Penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di Landas Kontinen Indonesia serta pemilikannya ada pada Negara[18].
Terhadap setiap perbuatan dan peristiwa yang terjadi pada, diatas atau dibawah instalasi-instalasi, alat-alat lainnya atau kapal-kapal. yang berada di landas kontinen dan/atau diatasnya, untuk keperluan eksplorasi dan/atau eksploitasi kekayaan alam di landas kontinen atau daerah terlarang dan daerah terbatas dari instalasi-instalasi dan/atau alat-alat lainnya atau kapal-kapal yang bersangkutan, berlaku hukum dan segala peraturan perundang-undangan Indonesia[19]
Commission on the Limits of the Continental Shelf (komisi tentang Batas-batas Landas kontinen) di luar 200 mil laut harus dibentuk. Komisi harus terdiri dari 21 anggota yang merupakan ahli-ahli dalam bidang geologi, geofisika atau hydrografi, yang dipilih oleh negara-negara peserta konvensi ini dari antara para warganegaranya, dengan memperhatikan kebutuhan untuk menjamin perwakilan geografis yang adil, yang harus menjabat dalam kapasitas pribadi[20] .
Adapun   tugas-tugas dari komisi tentang batas-batas landas kontinen diatur dalam pasl 3 ayat 1 yaitu :
(a)   Untuk mempertimbangkan data dan bahan lain yang disampaikan oleh negara pantai mengenai batas-batas terluar landas kontinen di daerah-daerah dimana batas-batas tersebut berada di luar 200 mil laut, dan untuk membuat rekomendasi-rekomendasi sesuai dengan pasal 76 dan pernyataan saling pengertian (Statement of Understanding) yang telah diterima pada tanggal 29 agustus 1980 oleh Konperensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang hukum laut ketiga
(b)   Untuk memberikan nasehat teknis dan ilmiah, apabila diminta oleh negara pantai yang bersangkutan selama persiapan data yang disebut dalam sub ayat (a)
c. Zona Ekonomi Eksklusif
zona ekonomi ekslusif adalah pengaturan baru yang ditetapkan oleh konvensi hukum laut 1982. Sebelum perang dunia ke II dikenal beberapa perjanjian internasional yang mengatur batas-batas perairan antara negara seperti perjanjian perbatasan Norwegia-swedia tahun 1909 dan perjanjian perbatasan Inggris-Venezuela 1942 tentang perbatasan di teluk paria antara Trinidad dan Amerika Selatan[21].
Kemudian proklamasi Presiden Truman tanggal 28 September 1945 membuka lembaran baru bagi negara-negara untuk melakukan klaim atas laut territorial , landas kontinen, zona keamanan dan zona perikanan. Diantara negara-negara tersebut tercatat negara-negara Latin Amerika yang mengadakan klaim 200 mil laut territorial, yaitu negara-negara Peru, Equador, Chili, Panama dan Brazil. Negara-negara lain ingin mengadakan zona ekonomi eksklusif atau zona sumber-sumber kekayaan alam seluas 200 mil, dimana pada zona tersebut negara-negara pantai mempunyai hak kedaulatan atas sumber-sumber yang dapat diperbaharui dari dasar laut dan perairan di atasnya[22].
Kelompok negara-negara ini ialah Colombia, Mexico, Venezuela dan negara-negara Karibi lainya. Zona ekonomi ini disebut juga sebagai Patrimonial sea kelompok negara-negara ini mengadakan konperensi tentang masalah lautan di santo Domingo tahun 1972 dimana mereka mengkoordinir kebijaksanaan tentang zona sumber-sumber kekayaan alam dan menghasilkan Deklarasi Santo Domingo, yang kemudian diserahkan kepada Komite Dasar Laut PBB (United Nations Seabed Committee)[23].
Di samping itu terdapat pula negara-negara yang menginginkan tepian kontinennya memanjang diluar 200 mil. Dalam kelompok ini termasuk India, Norwegia, Argentina, Australia, Canada, Brazil dan New Zealand. Disini terlihat keinginan negara-negara pantai untuk secara unilateral mengadakan berbagai macam klaim melalui perundang-undangan nasional atas laut teritorial dan zona maritim lainnya semakin bertambah banyak. Sebelum tahun 1970 sebanyak 34 negara-negara pantai mengadakan klaim 3 mil laut teritorial dan 47 lainnya melakukan klaim seluas 12 mil. Menjelang Juni 1974 sebanyak 54 negara mengadakan klaim 12 mil, dan 9 negara melakukan klaim atas 200 mil laut teritorial. Hal-hal tersebut diatas menunjukkan bahwa perubahan-perubahan di bidang politik, ekonomi, dan teknologi dari negara-negara pantai dan maritim perwujudannya tidak mungkin lagi ditampung oleh landasan Konvensi-konvensi Jenewa 1958[24].
Perkembangan zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone) mencerminkan kebiasaan internasional (international customs) yang diterima menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law) karena sudah terpenuhi dua syarat penting, yaitu praktik negara-negara (state practice) dan opinio juris sive necessitatis. Zona ekonomi eksklusif bagi negara berkembang seperti Indonesia adalah vital karena di dalamnya terdapat kekayaan sumber daya alam hayati dan nonhayati, sehingga mempuyai peranan sangat penting bagi pembangunan ekonomi bangsa dan negara[25]
Zona ekonomi eksklusif adalah daerah di luar dan berdamping dengan laut territorial yang tunduk pada rejim hukum khusus di mana terdapat hak-hak dan jurisdiksi Negara pantai, hak dan kebebasan Negara lain yang diatur oleh Konvensi[26] sedangkan dalam undang-undang No 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif disebutkan bahwa       Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undangundang  yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut,tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
Lebar zona ekonomi eksklusif bagi setiap Negara pantai adalah 200 mil sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 57 Konvensi yang berbunyi Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebat laut territorial di ukur.  Indonesia merupakan negara pantai mempunyai hak-hak, jurisdiksi, dan kewajiban di zona ekonomi eksklusif karena sudah terikat oleh Konvensi Hukum Laut 1985 dengan UU No. 17/1985. Hak-hak, jurisdiksi, dan kewajiban Indonesia pada Konvensi tersebut sudah ditentukan oleh Pasal 56 yang berbunyi sebagai berikut
1.      Dalam zona ekonomi eksklusif, negara pantai mempunyai
(a). hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi ekonomi eksklusif zona tersebut, seperti produksi energy dari air, arus dan angin
(b) yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan konvensi ini berkenaan dengan :
     (i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan
     (ii) riset ilmiah kelautan
    (iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
(c). hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan alam konvensi ini
2. didalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajiban berdasarkan konvensi ini dalam zona ekonomi eksklusif, negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini
3. hak-hak yang tercantum dalam pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah dibawahnya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan bab VI
Di zona ekonomi eksklusif setiap Negara pantai seperti Indonesia ini mempunyai hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan mengelola sumber daya alam baik hayati maupun nonhayati di perairannya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta untuk keperluan ekonomi di zona tersebut seperti produksi energi dari air, arus, dan angin.
Sedangkan jurisdiksi Indonesia di zona itu adalah jurisdiksi membuat dan menggunakan pulau buatan, instalasi, dan bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Dalam melaksanakan hak berdaulat dan jurisdiksinya di zona ekonomi eksklusif itu, Indonesia harus memperhatikan hak dan kewajiban Negara lain.Hal yang tidak kalah pentingnya adalah kewajiban menetapkan batas-batas zona ekonomi eksklusif Indonesia dengan negara tetangga berdasarkan perjanjian, pembuatan peta dan koordinat geografis serta menyampaikan salinannya ke Sekretaris Jenderal PBB
Hak dan kewajiban negara lain di zona ekonomi eksklusif diatur oleh Pasal 58 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu sebagai berikut:
1.      Di zona ekonomi eksklusif, semua negara, baik negara berpantai atau tak berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan konvensi ini, kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kebel dan pipa bawah laut yang disebutkan dalam pasal 87 dan penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kebel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain konvensi ini
2.      Pasal 88 sampai pasal 115 dan ketentuan hukum internasional lain yang berlaku diterapkan bagi zona ekonomi eksklusif sepanjang tidak bertentangan dengan bab ini
3.      Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajiban berdasarkan konvensi ini dizona ekonomi eksklusif, negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab ini
Di zona ekonomi eksklusif Indonesia, semua Negara baik Negara pantai maupun tidak berpantai mempunyai hak kebebasan pelayaran dan penerbangan, kebebasan memasang kabel dan pipa bawah laut dan penggunaan sah lainnya menurut hukum internasional dan Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasan tersebut, Negara lain harus menghormati peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai negara pantai yang mempunyai zona ekonomi eksklusif tersebut
                Negara pantai dapat menegakan peraturan perundang-undangannya sebagaimana di cantumkan dalam pasal 73 yaitu:
1.      Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan konvensi ini
2.      Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainya
3.      Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainya
4.      Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus segera memberitahukan kepada negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan
Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pengadilan yang berwenang mengadili pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini adalah pengadilan negeri yang  daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang-orang. 
      
d. pengaruh dan praktek perundang-undangan di Indonesia
Indonesia sudah mengadopsi ketentuan zona ekonomi eksklusif sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 55-75 Konvensi Hukum Laut 1982. Ketentuan tersebut terdapat dalam implementing legislation, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, serta kewajiban-kewajiban yang sudah dilakukan oleh Indonesia yaitu: Undang-Undang No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang-Undang 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1984 tentang Penggunaan Sumber Daya Alam di Zona Ekonomi Eksklusif. Namun Indonesia belum menetapkan batas terluar ZEE Indonesia dalam suatu peta yang disertai koordinat dari titik - titiknya dan belum melakukan perjanjian bilateral mengenai zona ekonomi eksklusif dengan negara tetangga seperti: India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Fhilipina, Papau, Papua Nugini dan Timor Leste[27].


Laut Lepas (High Seas)
a.       Defenisi dan Pembatasan
Pengaturan laut lepas (high seas) terdapat dalam Konvensi-Konvensi Jenewa yang merupakan hasil dari Konferensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) I tanggal 24 Februari-27 April 1958. Pasal 1 Konvensi Jenewa 1958 tersebut memberikan pengertian laut lepas yang berbunyi bahwa laut lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk laut teritorial atau perairan pedalaman suatu Negara. Konvensi Jenewa 1958 ini sudah tidak berlaku lagi karena ada yang baru, yaitu Konvensi Hukum Laut 1982. Pengertian laut lepas menurut Konvensi Jenewa 1958 tersebut sangat jauh dengan pengertian laut lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982[28]
Konvensi Hukum Laut 1982 dalam Pasal 86 menyatakan pengertian laut lepas sebagai Berikut yaitu bahwa laut lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk zona ekonomi eksklusif, laut territorial atau perairan pedalaman suatu negara dan perairan kepulauan dalam Negara kepulauan. Pengertian laut lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini sangat jauh statusnya dengan pengertian laut lepas menurut Konvensi Jenewa 1958. Laut lepas menurut Konvensi Jenewa 1958 adalah hanya 3 mil dari laut territorial, sedangkan laut lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalah dimulai dari zona ekonomi eksklusif yang berarti dimulai dari 200 mil. Menurut Konvensi Hukum Laut 1982, laut territorial yang sejauh 12 mil itu tunduk pada kedaulatan penuh suatu Negara, sedangkan zona ekonomi eksklusif yang sejauh itu mempunyai status sui generic, yaitu bahwa sifat khusus yang bukan bagian dari kedaulatan Negara, tetapi juga tidak tunduk pada rejim internasional. Dalam zona ekonomi eksklusif, setiap Negara mempunyai hak-hak berdaulat dan jurisdiksi sebagaimana dijelaskan di atas

b.      Dokrin kebebasan dilaut lepas
Laut lepas adalah res nullius, dan kecuali apabila terdapat aturan-aturan pengecualian dan batasan-batasan yang diterapkan untuk kepentingan negara-negara, laut lepas tidak merupakan wilayah negara manapun. Dokrin laut bebas (freedom of the sea) berarti bahwa kegiatan-kegiatan di laut dapat dilakukan dengan bebas dengan mengindahkan penggunaan laut untuk keperluan lainya[29]. Kemudian konsep laut bebas ini lebih jelas terlihat didalam pasal 2 Konvensi Genewa tentang laut lepas 1958, yang menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua bangsa, tidak ada suatu negaramanapun secara sah dapat melakukan pemasukan bagian daripadanya kebawah kedaulatannya.
Kebebasan Laut lepas  dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam konvensi ini dan ketentuan lain hukum internasional.hal tersebut baik untuk negara pantai dan bukan negara pantai antara lain:
(a)    Kebebasan berlayar
(b)   Kebebasan menangkap ikan
(c)    Kebebasan menempatkan kabel-kebel bawah laut dan pipa-pipa
(d)   Kebebasan terbang diatas laut lepas
Didalam Konvensi Hukum laut 1982 terlihat beberapa perubahan atas konsep laut lepas seperti yang didefenisikan oleh konvensi tentang laut lepas tahun 1958. Keempat kebebasan yang disebutkan oleh pasal 2 konvensi tentang laut lepas 1958, tetap terlihat dalam pasal 87 dari konvensi baru dan tambahan dengan dua macam kebebasan laut lainya yaitu :
(e)    Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan istalasi lainya yang di izinkan hukum internasional, sesuai dengan ketentuan part VI dan XII
(f)    Kebebasan riset ilmiah, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab VI dan XIII.
Kebebasan di laut lepas tersebut harus memperhatikan kepentingan Negara lain dalam melaksanakan kebebasan yang sama karena pelaksanaan kebebasan tersebut harus dilaksanakan untuk tujuan-tujuan damai (peaceful purposes) dan tidak boleh negara melaksanakan kedaulatannya di laut lepas sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 88-89 Konvensi Hukum Laut 1982.

c.    Jurisdiksi negara atas kapal / pesawat udara di laut lepas
Setiap negara, baik berpantai atau tidak berpantai, mempunyai hak untuk melayarkan kapal dibawah benderanya di laut lepas[30]. Negara-negara pada umumnya memandang kapal-kapal mereka yang terdaftar sama seperti wilayah negara tersebut dan memiliki nasionalitet dari negara itu, sehingga negara bersangkutan dapat melakukan yurisdiksinya atas kapal-kapal mereka dilaut lepas[31]
Konvensi hukum laut 1982 Pasal 92 ayat 2 menetapkan bahwa kapal harus berlayar dibawah bendera suatu negara saja dan kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam konvensi ini, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Suatu kapal tidak boleh merobah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran.
Pendaftaran kapal kepada negaranya menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini tidak berlaku bagi kapal-kapal yang digunakan untuk pelaksanakan tugas Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan dan lembaga khususnya atau bagi Badan Energi Atom Dunia (the International Atomic Energy Agency) sebagaimana diatur oleh Pasal 93 Konvensi Hukum Laut 1982[32].
Pasal 94 Konvensi Hukum Laut 1982 (Duties of the flag State) yang berbunyi : Every State shall effectively exercise its jurisdiction and control in administrative, technical and social matters over ships flying its flag, yang berarti adalah bahwa bahwa setiap negara harus melaksanakan secara efektif jurisdiksinya dan mengendalikannya di bidang administratif, teknis, dan sosial di atas kapal yang mengibarkan benderanya. Di laut lepas, kapal perang dan kapal untuk dinas pemerintah memiliki kekebalan penuh terhadap jurisdiksi negara mana pun kecuali negara benderanya sebagaimana diatur oleh Pasal 95-96 Konvensi.



d.      Navigasi
Pasal 87-96 Konvensi Hukum Laut 1982 secara khusus menyebutkan kebebasan pelayaran sebagai bagian dari komponen-komponen kebebasan di laut lepas. Setiap negara harus melaksanakan secara efektif Yurisdiksi dan pengawasan dalam bidang administratif, teknis dan social atas kapal yang mengibarkan benderanya,[33] yang terkait dengan:
  1. Memelihara suatu daftar (register) kapal-kapal yang memuat nama dan keterangan-keterangan lainnya tentang kapal yang mengibarkan benderanya, kecuali kapal yang dikecualikan dari peraturan-peraturan internasional yang diterima secara umum karena ukurannya yang kecil
  2. Menjalankan yurisdiksi di bawah perundang-undangan nasionalnya atas setiap kapal yang mengibarkan benderanya dan nahkoda, perwira serta awak kapalnya bertalian dengan masalah administrative, teknis dan social kapal itu[34].
Setiap negara harus mengambil tindakan yang diperlukan bagi kapal yang memakai benderanya, untuk menjamin keselamatan dilaut, berkenaan, inter alia, dengan :
(a)    Kontruksi, peralatan dan kelayakan laut kapal
(b)   Pengawakan kapal, persyaratan perburuhan dan latihan awak kapal, dengan memperhatikan ketentuan internasional yang berlaku
(c)    Pemakaian tanda-tanda, memilihara dan pencegahan tubrukan[35]
Tindakan demikian harus meliputi tindakan yang diperlukan untuk menjamin:
(a)    bahwa setiap kapal, sebelum pendaftaran dan sesudah pada jangka waktu tertentu, diperiksa oleh seoarang surveyor kapal yang berwenang,dan bahwa di atas kapal tersedia peta, penerbitan pelayaran dan peralatan navigasi dan alat-alat lainya yang diperlukan untuk navigasi yang aman kapal itu
(b)   bahwa setiap kapal ada dalam pengendalian seorang nahkoda dan perwira-perwira yang memiliki persyaratan yang tepat, khususnya mengenai seamanship (kepelautan), navigasi, komunikasi dan permesinan kapal, dan bahwa awak kapal itu memenuhi syarat dalam kualifikasi dan jumlahnya untuk jenis, ukuran, mesin dan peralatan kapal itu
(c)    bahwa nahkoda, perwira, dan sedapat mungkin awak kapal sepenuhnya mengenal dan diharuskan untuk mematuhi peraturan internasional yang berlaku tentang keselamatan jiwa di laut, pencegahan tubrukan dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran laut serta pemeliharaan komunikasi melalui radio[36]
dalam hal terjadinya suatu tubrukan atau insiden pelayaran lain apapun yang menyangkut suatu kapal laut lepas, berkaitan dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nahkoda atau setiap orang lainya dalam dinas kapal, tidak boleh diadakan penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang yang demikian kecuali di hadapan peradilan atau pejabat administratif dari atau negara bendera atau negara yang orang demikian itu menjadi warganegarannya.[37]
Dalam perkara disiplin hanya negara yang telah mengeluarkna ijazah nahkoda atau sertifikat kemampuan atau ijin yang harus merupakan pihak yang berwenang, setelah dipenuhinya proses hukum sebagaimana mestinya, untuk menyatakan penarikan sertifikat demikian, sekalipun pemegangnya bukan warnegara dari negara yang mengeluarkan.[38] Tidak boleh penangkapan atau penahanan terhadap kapal, sekalipun sebagai suatu tindakan pemeriksaan, diperintahkan oleh pejabat manapun kecuali oleh pejabat-pejabat dari negara bendera[39]
Setiap negara harus mewajibkan (meminta) nakhoda suatu kapal yang berlayar di bawah benderanya untuk, selama hal itu dapat dilakukannya tanpa bahaya yang besar bagi kapal, awak kapal atau penumpang:
(a)    untuk memberikan pertolongan kepada setiap orang yang ditemukan dilaut dalam bahaya akan hilang
(b)   untuk menuju secepatnya menolong orang yang dalam kesulitan, apabila mendapat memberitahuan tentang kebutuhan mereka akan pertolongan, sepanjang tindakan demikian sepatutnya dapat diharapkan dari padanya
(c)    setelah suatu tubrukan, untuk memberikan bantuan pada kapal lain itu, awak kapal dan penumpangnya dan dimana mungkin, untuk memberitahukan kepada kapal lain itu nama kapalnya sendiri, pelabuhan registrasinya dan pelabuhan terdekat yang akan didatanginya[40]
setiap negara pantai harus menggakkan diadakanya, pengoperasian dan pemeliharaan dinas search and recue (SAR) yang memadai dan efektif berkenaan dengan keselamatan di dalam dan diatas laut dan, dimana keadaan menghendakinya, bekerjasama dengan negara tetangga untuk tujuan ini dengan cara pengaturan regional[41].
Brownlie yang menunjuk kepada pendapat hall menyatakan bahwa didalam abab ke 19, hukum yang berlaku adalah, dalam hal sebuah kapal atau seseorang di atas kapal tersebut, ketika berada di wilayah negara asing melakukan pelanggaran terhadap hukum negara tersebut, mereka dapat dikejar sampai ke laut lepas dan kemudian di tangkap. Setiap negara pantai termasuk Indonesia mempunyai hak melakukan pengejaran seketika (right of hot pursuit) kapal asing yang diduga kuat telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan sampai kapal tersebut memasuki laut teritorial negaranya atau negara ketiga sebagaimana diatur oleh Pasal 111. Pasal 111 Konvensi Hukum Laut 1982 ini memberikan pesan bahwa setiap negara pantai harus mempunyai peralatan dan sumber daya manusia yang memadai untuk mengamankan kedaulatan dan kekayaan sumber daya alam di laut[42]

e.       penerbangan
pengaturan mengenai penerbangan dilaut lepas yaitu diatur dalam pasal 87 ayat 1 dan 2 Semua negara baik negara pantai maupun tidak berpantai mempunyai kebebasan untuk melakukan penerbangan di ruang udara di atas laut lepas dengan memperhatikan kepentingan negara lain
f.       kabel pipa didasar laut
semua negara mempunyai hak untuk memasang kabel dan pipa bawah laut diatas dasar laut lepas di luar landas kontinen.[43] Apabila memasang kabel atau pipa bawah laut, negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya kabel atau pipa yang sudah ada, khususnya, kemungkinan untuk perbaikan kabel dan pipa yang sudah ada tidak boleh dirugikan[44].
Setiap negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk mengatur bahwa apabila orang-orang yang tunduk pada yurisdiksinya, yang merupakan pemilik kabel atau pipa bawah laut dibawah laut lepas, sewaktu melakukan pemasangan atau perbaikan kabel pipa itu, mengakibatkan terjadinya pemutusan atau kerusakan pada kabel atau pipa laut lain, mereka harus menanggung biaya perbaikannya.[45]
Pasal 115 mengatur tentang ganti rugi atau kerusakan oleh pemilik kabel atau pipa bawah laut terhadap kabel atau pipa bawah laut lainya, dimana setiap negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk menjamin bahwa pemilik kapal yang dapat mebuktikan bahwa mereka telah mengorbankan sebuah jangkar, sebuah jarring atau peralatan penangkapan ikan lainya dalam usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan pada kabel atau pipa bawah laut, harus diberi ganti kerugian oleh pemilik dari kabel atau pipa tersebut, dengan ketentuan bahwa pemilik kabel itu telah mengambil segala tindakan pencegahan yang wajar sebelumnya
g.      pendirian bangunan/Kontruksi dilaut
Pasal 87 ayat 1 poin d menyebutkan bahwa kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainya diperbolehkan berdasarkan hukum internasional dengan tunduk pada bab VI mengenai pengaturan landas kontinen. Pasal 60 konvensi hukum laut 1982 mengenai pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan dizona ekonomi ekslusif berlaku mutatis mutandis baik dilandas kontinen maupun di laut lepas
h.      perikanan
konvensi hukum laut 1982 menentukan hak semua negara untuk menangkap ikan dilaut lepas dengan tunduk pada :
(a)    kewajiban berdasarkan perjanjian internasional
(b)   hak dan kewajiban maupun kepentingan negara pantai, yang ditentukan,inter alia, dalam pasal 63 ayat 2 dan pasal-pasal 64 sampai 67 dan
(c)    ketentuan dalam bagian ini.[46]
Dari ketentuan pasal 116 terdapat keterkaitan yang erat dalam hal pengelolaan perikanan  di zona ekonomi eksklusif maupun di laut lepas.terutama dalam hal jenis yang bermigrasi jauh (highly migratory species), dimana negara pantai dan negara lain yang warga negaranya melakukan penangkapan ikan dikawasan untuk jenis ikan yang bermigrasi jauh sebagaimana tercantum dalam lampiran 1, harus bekerja sama secara langsung atau melalui organisasi internasional yang bersangkutan dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan peningkatan tujuan pemanfaatan optimal jenis ikan yang demikian di seluruh kawasan, baik didalam maupun di luar zona ekonomi eksklusif. Dikawasan dimana tidak terdapat organisasi internasional yang bersangkutan negara pantai dan negara lain yang warga negaranya memanfaatkan jenis ikan demikian di kawasan tersebut harus bekerjasama untuk membentuk organisasi demikian dan berperan serta dalam kegiatannya.[47]
Beberapa negara telah mengadakan perjanjian-perjanjian internasional untuk kepentingan perlindungan penangkapan ikan dan spesies lainya di laut lepas.[48] Di antaranya ialah indo Pacific Fisheries Council, (1949), the General Fisheries Council For Middeterenian (1952), the south Pacific Commission (1947), The North Pacific Halibut Fisheries Convention (1953), North Atlantic Fisheries Convention (1949), dengan convention for the regulation of whaling (1946),
Kasus  mengenai The Southern Bluefin Tuna, antara Australia dan Selandia Baru serta Jepang di sisi lain, dari kasus ini menghasilkan Konvensi Conservation of Southern Bluefin Tuna dan Commission Conservation of Southern Bluefin Tuna. Sebagai salah satu dari enam negara yang memiliki 'coral triangle' karena memiliki lebih dari 500 spesies terumbu karang yang menjadi tempat hidup, singgah, dan berkembang biaknya berbagai jenis ikan, Indonesia dituduh sebagai pencuri ikan terbesar di dunia karena menangkap ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna) yang jumlahnya melebihi kuota yang ditetapkan oleh negara-negara lain, terutama kelompok negara tujuan ekspor. Padahal, penangkapan jenis ikan yang populasinya semakin berkurang di dunia itu dilakukan oleh para nelayan Indonesia di wilayah perairan sendiri.
Penting juga untuk dikemukakan disini tentang kasus Fisheries Jurisdiction Case antara Inggris dan Islandia. Dimana dalam kasus ini zona penangkapan ikan Islandia oleh Mahkamah Internasional dinyatakan tidak berlaku terhadap inggris sebagai lanjutan dari persetujuan bilateral kedua negara tahun 1961. Lima hakim dari mahkamah internasional dalam pendapatnya masing-masing menyatakan bahwa tidak terdapat aturan hukum kebiasaan tentang batas maksimum penangkapan ikan, dan aturan hukum kebiasaan tersebut belumlah muncul.
Peranan RFMO Organisasi Manajemen Perikanan Regional (RFMOs) bertanggung jawab untuk mengelola stok ikan di laut lepas dan stok ikan yang bermigrasi melalui perairan lebih dari sekadar satu Negara. RFMOs juga memiliki tugas untuk melestarikan semua spesies yang terkait atau ipengaruhi oleh perikanan, termasuk burung laut, penyu, lumba-lumba, hiu dan non-ikan target. Tanggung jawab tersebut telah digariskan dalam perjanjian internasional baru yang mengatur tentang lautan, seperti FAO Code of Conduct untuk Perikanan yang bertanggung jawab, dan United nations fish stocks agreement, yang keduanya didirikan pada tahun 1995.
RFMOs memiliki peran penting dalam konservasi spesies laut, terutama untuk luas spesies seperti albatrosses, dimana mitigasi yang efektif bergantung pada kolaborasi antara Serikat. RFMOs adalah organisasi yang paling mampu menciptakan kerjasama ini. BirdLife telah melakukan evaluasi kinerja RFMOs berdasarkan kinerja mereka dalam memenuhi tugas-tugas yang diuraikan dalam FAO Code of Conduct untuk Perikanan yang bertanggung jawab, dan united nations of fish stock. Evaluasi termasuk penilaian RFMOs dalam hal partisipasi dan transparansi, pengelolaan ikan target, langkah-langkah untuk memerangi IUU memancing, dan langkah-langkah untuk mengurangi bycatch lumba-lumba, kura-kura, hiu dan ikan lain, serta kinerja RFMO dalam pengumpulan data dan langkah-langkah mitigasi untuk albatrosses dan burung laut lainnya.
Pengaturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan oleh RFMO tertuang pada Pasal 61 sampai Pasal 67 yang merupakan termasuk Bab V mengenai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). UNCLOS 1982 juga mengamanatkan kerjasama negara-negara dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati sebagaimana yang tertuang pada Pasal 118 yang termasuk pada Bab VII mengenai Laut Lepas.
i.        Riset ilmiah kelautan
Bab XIII hukum laut 1982 pasal 238-265 mengatur tentang riset ilmiah kelautan dimana pasal 238 menyebutkan bahwa semua negara, tanpa memandang letak geografisnya dan organisasi-organisasi internasional yang kompoten, berhak mengadakan riset ilmiah kelautan dengan memperhatikan hak dan kewajiban negara-negara lain sebagaimana ditentukan dalam konvensi ini. Dalam menyelenggarakan riset ilmiah kelautan harus berlaku asas-asas sebagai berikut :
(a)    Riset ilmiah kelautan harus dilaksanakan semata-mata untuk tujuan damai
(b)   Riset ilmiah kelautan harus dilakukan dengan metode ilmiah yang tepat dan dengan cara yang sesuai dengan konvensi ini
(c)    Riset ilmiah kelautan tidak dibenarkan mengganggu secara tidak sah penggunaan laut lainnya yang sah sesuai dengan konvensi ini dan penggunaan laut di maksud harus dihormati
(d)   Riset ilmiah kelautan harus diselenggarakan sesuai dengan segala peraturan relevan yang diterima sesuai konvensi ini termasuk ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
Kegiatan riset ilmiah kelautan tidak dapat menjadi dasar hukum bagi tuntutan apapun terhadap suatu bagian dari lingkungan laut atau kekayaan alamnya.[49] Semua kegiatan riset yang dilakukan di ZEE dan di perairan landas kontinen tunduk pada izin negara pantai, namun riset tersebut ditujukan untuk kegiatan-kegiatan damai.
J. isu-isu terkini tentang laut lepas
a. Perompakan laut (Piracy)
pembajakan dilaut terdiri dari salah satu diantara tindakan berikut:
(a)    Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan :
(i)                 Dilaut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada diatas kapal atau pesawat udara demikian
(ii)               Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun
(b)   Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoprasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak
(c)    Setipa tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam sub-ayat(a) atau (b)
Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization-IMO) merupakan salah satu badan organisasi internasional yang mengatur tentang bajak laut di dunia. IMO mengeluarkan definisinya tentang bajak laut. Definisi yang dikeluarkan oleh IMO berdasarkan hukum laut internasional (United Nations Conventions on the Law of the Sea) tahun 1982 memiliki lima karekteristik
1.      pembajakan laut harus melibatkan tindakan kriminal seperti kekerasan, detensi atau depredasi
2.      pembajakan laut harus dilakukan di laut lepas atau di tempat di luar yurisdiksi sebuah negara. Ketentuan tersebut membatasi definisi pada sebuah tindakan kekerasan atau penahanan ilegal terhadap sebuah kapal di wilayah laut bebas atau di wilayah lainnya di luar yurisdiksi sebuah negara. Sehingga, aksi perampokan dan pembajakan yang dilakukan di dalam wilayah laut teritorial suatu negara tidak akan dimasukkan ke dalam istilah bajak laut. Oleh karena itulah, IMO mendefinisikan serangan kriminal dengan senjata terhadap kapal di dalam perairan teritorial sebagai perampokan bersenjata, bukan aksi bajak laut. Pembedaan ini akan berdampak sekali kepada perlakuan hukum terhadap para tersangka termasuk pada prosedur penangkapan, penahanan dan pengadilan serta vonis hukuman.
3.      definisi UNCLOS tentang pembajakan laut adalah harus melibatkan dua kapal (two-ship requirement). Bajak laut harus menggunakan sebuah kapal untuk  menyerang kapal lain. Oleh karena itu, dengan definisi tersebut maka penyerangan yang dilakukan oleh penumpang atau awak kapal yang berasal dari dalam kapal tidak termasuk aksi bajak laut. Begitu juga dengan penyerangan terhadap kapal yang sedang melabuh di pelabuhan dari atas dermaga
4.      pembajakan laut harus dilakukan demi tujuan pribadi, yang mana tidak memasukkan aksi terorisme atau kegiatan lingkungan sebagai aksi bajak laut. Oleh karena itu, pembajakan laut yang dilakukan oleh kelompok pemberontak misalnya, tidak dapat digolongkan ke dalam definisi bajak laut.
5.      serangan oleh kapal angkatan laut tidak dapat disebut aksi bajak laut karena serangan bajak laut harus dilakukan oleh awak atau penumpang kapal milik pribadi.
Definisi dari IMO tersebut tidak dapat mencakup penyerangan yang dilakukan di wilayah teritorial, penyerangan di pelabuhan, serangan oleh kelompok pemberontak politik, dan serangan oleh kapal milik pemerintah. Oleh karena itulah, definisi tersebut tidak dapat mengakomodasi perampokan terhadap kapal yang justru banyak dilakukan di wilayah teritorial (ciri dominan aksi kejahatan laut di perairan Asia Tenggara yang sebagian besar perairannya adalah laut teritorial). Biro Maritim Internasional (International Maritime Bureau-IMB) menyikapi hal tersebut dengan mengeluarkan definisi yang berbeda.
mendefinisikan bajak laut sebagai sebuah tindakan menaiki atau berusaha menaiki kapal apapun dengan maksud melakukan pencurian atau bentuk kejahatan lain dan dengan usaha atau kemampuan menggunakan kekerasan dalam aksinya. Definisi tersebut tidak membedakan antara penyerangan di laut bebas dan di dalam perairan teritorial sehingga mencakup penyerangan terhadap kapal di wilayah perairan teritorial. Definisi tersebut termasuk tidak hanya serangan terhadap kapal-kapal yang sedang berlayar saja, namun juga serangan terhadap kapal-kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan atau sedang menurunkan jangkar. Selain itu, keharusan pelibatan dua kapal juga tidak digunakan, yang berarti bahwa penyerangan dari sebuah rakit atau bahkan dari dermaga dapat dikategorikan sebagai aksi bajak laut
Definisi IMB juga tidak mengharuskan aksi bajak laut harus dilakukan dengan tujuan pribadi. Penyerangan terhadap kapal untuk alasan politik dan lingkungan digolongkan sebagai aksi bajak laut. Begitu juga dengan aksi bajak laut dengan motif politik yang dilakukan oleh para pemberontak di suatu negara dengan tujuan mengumpulkan dana bagi operasi mereka. Tidak hanya itu, aksi penyerangan yang dilakukan oleh kapal angkatan laut pemerintah suatu negara juga dapat dimasukkan ke dalam aksi bajak laut
Ketentuan-ketentuan tentang perampokan laut diatur oleh konvensi-konvensi hukum laut 1982, mulai dari pasal 101 sampai dengan pasal 107. Dilaut lepas atau setiap tempat diluar yurisdiksi negara manapun setiap negara dapat menyita kapal atau pesawat udara perompak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh perompak dan berada dibawah pengendalian perompak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada dikapal. Pengadilan negara yang telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik[50]
Apabila penangkapan terhadap suatu kapal atau pesawat terbang dilakukan tanpa alasan yang layak, negara yang menangkap kapal atau pesawat terbang tersebut bertanggung jawab kepada negara dari nasionalitet kapal atau pesawat terbang atas kerugian yang ditimbulkan oleh penangkapan tersebut[51]





             [1] Pasal 33 ayat 2 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
[2] Departemen Kelautan dan Perikanan.Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) Di Indonesia. Laporan Akhir . hal 29
[3] T may Rudy. Hukum Internasional 2. Rafika Aditama. Bandung. Hal 23
[4] Chairul Anwar. Hukum Internasional Horizon Baru Hukum Laut Internasional Konvensi Hukum Laut 1982
[5] I Wayan Parthiana, Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional, CV Mandar Maju, Bandung, 2005, hal. 8.
5. Chairul Anwar. Op.Cit. hal 56

[7] Departemen Kelautan dan Perikanan.Op.Cit.hal 38
[8] Ibid
[9] Pasal 77 ayat 1 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982        
[10] Idem.hal 43
[11] Pasal 77 ayat 2 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982          

[12] Pasal 77 ayat 3 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982          
13pasal 78 ayat 1 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982


[14] Pasal 78 ayat 2 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
15pasal 79 ayat 1 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
16pasal 79 ayat 2 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
                17pasal 79 ayat 3 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
                18pasal 2 undang-undang No 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen


[19] Pasal 9 ayat 1 Undang-undang No 1 Tahun 1973 Tentang Landaas Kontinen
[20] Pasal 2 ayat 1 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
[21] Chairul Anwar. Op.Cit. hal 44
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Idem. Hal 45
[25] Departemen Kelautan dan Perikanan.Op.Cit.hal  31
[26] Pasal 55 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
[27] Departemen Kelautan dan Perikanan.Op.Cit.hal  34
[28] Departemen Kelautan dan Perikanan.Op.Cit.hal  45
[29] Chairul Anwar.Op.Cit. hal 62
[30] Pasal 90 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982
[31] Chairul Anwar.Op.Cit. hal 66
[32] Departemen Kelautan dan Perikanan.Op.Cit.hal  46
[33] Pasal 94 ayat 1 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[34] Pasal 94 ayat 2 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[35] Pasal 94 ayat 3 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[36] Pasal 94 ayat 4  united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[37] Pasal 97 ayat 1 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[38] Pasal 97 ayat 2 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[39] Pasal 97 ayat 3 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[40] Pasal 98 ayat 1 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[41] Pasal 98  ayat 2 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[42] Departemen Kelautan dan Perikanan.Op.Cit.hal  47
[43] Pasal 112 ayat 1 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[44] Pasal 79 ayat 5 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[45] Pasal 114  united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[46] Pasal 116 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[47] Pasal 64 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[48] Chairul Anwar.Op.Cit. hal 83
[49] Pasal 241 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

[50] Pasal 105
[51] [51] Chairul Anwar.Op.Cit. hal 68

3 komentar: